Minggu, 22 November 2009

“Dyah Balitung Watukura” Raja Agung dari Tanah Bagelen

Kerajaan Medang i Bhumi Mataram ketika diperintah oleh Raja Dyah Balitung Rakai Watukura kekuasaannya mencakup wilayah yang sangat luas. Meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur hingga ke pulau Bali. Dan kerajaan tersebut dikenal juga dengan nama “Galuh”. Kehidupan kerajaan Mataram pada masa itu belum banyak terungkap. Namun dari beberapa relief yang ditemukan di candi- candi di Jawa Tengah banyak yang mencerminkan kebesaran kerajaan tersebut seperti: Borobudur dan Prambanan. Dalam sejarah Mataram Kuno, telah ada hubungan diplomatik dengan luar negeri seperti yang terungkap dalam kronik dan catatan Tiongkok.
Dalam sejarah Rajakula Tang (Hsin tang Shu) tahun 618-906 M, dan sejarah Rajakula Sung tahun 906-1279 M diperoleh keterangan tentang keadaan di Jawa Tengah pada waktu itu. Di dalam Hsin Tsing shu disebutkan bahwa raja tinggal di Cho’Po tetapi moyangnya yang bernama “ki- yen” berpindah ke timur ke Pu- Lu- Kia –Seu. Di sekitarnya ada 28 kerajaan kecil yang tunduk. Ada 32 pejabat tinggi yang salah satunya Ta Tso Kanhiung. Dalam catatan dinasti Sung disebutkan tiga putera raja menjadi pembantu- pembantu raja. Mereka bersama- sama mengurus soal pemerintahan bersama empat pejabat kerajaan yang bergelar Rakyan. Mereka mempunyai penghasilan tetap, dan sesekali mereka juga memperoleh hasil bumi. Disamping itu juga ada 300 pejabat sipil yang dianggap sejajar dengan “siu- tsai” di Tiongkok. Mereka bertugas mencatat penghasilan kerajaan, mereka juga mempunyai kira- kira 1000 pegawai rendahan yang bertugas mengurus benteng dan parit kota, dan lumbung- lumbung kerajaan. Para prajurit, panglima perang masing-masing mendapat 10 tail emas tiap setengah tahun. Dan ada 30.000 prajurit yang dibayar setengah tahun sekali sesuai dengan pangkat masing- masing.
Dyah Balitung Rakai Watukura berkuasa antara 899-910 masehi. Menurut profesor Purbacaraka Dyah Balitung adalah seorang pangeran yang berasal dari Kedu selatan (Bagelen), sebab nama Watukura dijadikan gelar pelungguhannya dan tempat tersebut merupakan nama sungai yang ada di tanah Bagelen. Bahkan sampai sekarang ada desa yang bernama Watukura yang terdapat di kecamatan Purwodadi. Dari 38 prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Dyah Balitung diketahui bahwa beliau mempunyai 4 gelar yaitu :
1. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu
2. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarattungga
3. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawatungga
4. Janardanottungga Dyah Balitung
Dalam prasasti “ Watu Kuro” disebutkan adanya tempat mekdis penjenazahan di Watukura. Dyah Balitung naik tahta karena perkawinan, hal ini bisa dilhat dari gelar rakai yang dipakai seperti yang dikatakan dalam prasasti Mantyasih, sebab pada waktu menikah ia masih bergelar “haji” atau raja bawahan. Berdasarkan prasasti yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung, sistem perekonomian telah tertata baik. Bahkan dalam prasasti Ayam Teas yang menyebutkan Dyah Balitung sebagai Sri Maharaja dan bertiti masa 822 saka atau tahun 900 M, disebutkan desa Ayam Teas yang dijadikan sebagai tanah perdikan sebagai tempat pedagang. Tempat tersebut tidak diperbolehkan dilewati oleh para petugas pajak. Dan hanya 3 pejabat dari setiap daerah bebas yang diperbolehkan membawa secara bebas 20 ekor kerbau, 40 ekor sapi, 80 ekor kambing dan telur satu kandang dalam kendaraan. Dengan demikian jelaslah bahwa pada masa kekuasaan Dyah Balitung selain pertanian dengan sistem irigasi, tata niaga, peternakan, kerajinan dan perpajakan juga sudah berjalan secara teratur.
Dalam prasasti Panunggalan (818 saka) disebutkan haji Rakai Watuhumahang memberi anugerah kepada Dapunta di Kabikuan Panunggalan atas hak perdikan tanah daerah mereka. Jika benar Dyah Balitung itu anak Watuhumahang, maka kesimpulannya dia merupakan anak seorang haji bukan anak Sri Maharaja. Menurut Purbacaraka kata “dharma” (dharmmadaya mahasambhu) ditafsirkan merupakan gelar dengan kata tersebut adalah raja yang naik tahta karena perkawinan. Dalam prasasti Kubu-kubu (827 saka) tentang peresmian kubu-kubu menjadi sima, diuraikan pimpinan upacara wedhati dan makudur antara lain membanting telur dan memanggal leher ayam. Penutupannya memberi keterangan tentang Raja Dyah Balitung yang kembali ke keraton. Dalam tahun 899 Dyah balitung sudah memakai Abhiseka Sri Dharmmodaya Mahasambhu, sedangkan perkawinannya disebutkan pada prasasti 907, maka tidak mungkin perkawinan itulah yang menyebabkan dirinya menggunakan gelar. Gelar tersebut menagndung arti “ yang kebajikannya selalu meningkat dan yang maha pemurah” sehingga mungkin gelar itu dipakai karena Dyah Balitung yang berhasil membawa keluarga raja yang dipimpinnya ke puncak kekuasaan. Dyah Balitung semakin meluaskan kekuasaan sehingga kemudian bergelar Sri Iswarakesawotsawatungga atau Sri Iswarakesawasamarattungga yang artinya yang terkemuka dalam peperangan yaitu siwa dan wisnu. Pada akhir kekuasaannya dia bergelar “Garuda Muka” seperti yang disebutkan dalam prasasti Tulanan (832 saka). Mungkin saja gelar itu berkaitan dengan wisnu yang dianggap sebagai tokoh pembebas. Dalam masa kekuaasaan Dyah Balitung selain dewa-dewi siwais, menurut prasasti kedu (907 M) disebut tentang penghormatan terhadap dewa. Disebutkan bahwa dewa yang berakhiran dengan kara “ swara” seperti Pouteswara, Malangkuseswara dan Silabheseswara. Sedangkan tanah palungguhannya tempat yang bercampur dengan monumen megalitikh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar