Kayu Antan merupakan tempat di tepi sungai Bagawanta, tempat tersebut merupakan tanah “swatantra” atau perdikan. Prasasti Kayu Ara Hiwang ditemukan di bawah pohon sono tepi sungai Bagawanta wilayah Boro Wetan, yang sekarang masuk wilayah Boro Tengah kecamatan Banyuurip. Prasasti tersebut diresmikan oleh Dyah Mala (Sala) yang merupakan Rakai dari Wanua Poh yaitu putra dari sang Ratu Bajra (daksa) yang tinggal di Wanua Pariwutan. Sang Ratu Bajra dalam hirarki kekuasaan Maharaja Dyah Balitung Watukura adalah orang kedua setelah raja. Upacara penetapan sima terjadi pada tahun 823 saka atau 901 Masehi, tanggalnya 5 Oktober. Prasasti Kayu Ara Hiwang dalam seminar hari jadi kabupaten Purworejo tanggal 28 September 1993 dijadikan sebagai sumber primer menentukan hari jadi. Nama Sima diketahui dari Prasasti itu memuat peristiwa penting yakni: upacara pematokan sebagai sebuah sima atau tanah perdikan yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak bagi sima yang dipersembahkan untuk parahyangan. Prasasti itu dibuat pada tahun saka 823 pada bulan Asuji hari ke 5, bulan paro peteng, vurukung senin pahing (wuku) mrgasira, bersamaan dengan siva.
Radix Penadi mengungkapkan bahwa pada saat itu Raka dari Vanua Poh bernama Dyah Sala (Mala) putra sang Bajra yang tinggal di Parivutan menandai desa Kayu Ara Hiwang yang masuk wilayah Vatu Tihang menjadi tanah perdikan untuk dipersembahkan bagi “parahyangan” selain itu pangeran dari Parivutan mensucikan semua kejelekan. Dalam prasasti itu juga disebutkan Rakryan dari Watu Tihang Pu Sanggrama Surandhara, penduduk galak yang masuk wilayah Mahmili menerima pakaian ganja haji patra sisi satu set, perak satu kati dan prasada vohring sebanyak sata swana. Dalam prasasti tersebut juga disebutkan nama- nama pejabat antara lain: Rakryan Pu Rama dari Patimpuh. Pamagat Valdihati Pu Dangpit, penduduk Pasamuan yang masuk wilayah Valdihati. Tuhan dari Mukudur Sang Vangun Sugih Pu Maniksa, penduduk Medang di bawah Vadihati. Sang Maklambi Manusuk, Sang Tulumpuk Pu Naru penduduk Pupur di bawah Vadihati. Pangkat Panusung dari Makudur Sang Daluk Pu Tangak, ayah dari Lacita, kakek dari Muding penduduk Taji. Para pejabat tersebut menerima “pasek” berupa pakaian berwarna satu set emas dalam jumlah tertentu ada yang enam masa ada pula yang menerima dua belas masa. Pengangkat Panusung dari Tuhan, badan kesatuan para nayaka di bawah Vatu Tihang. Raka dari Vaskar tal, Pu Pudraka penduduk dari kasugihan di bawah Dagihan. Mangrupi tuhan dan badan kesatuan nayaka, Raka dari Pakambingan Pu Pandava, penduduk Lamyar di bawah Varu Ranu. Tuhan dari Lapuran, Raka dari Vatu Hyang dan Lampuran Pu Manu, penduduk dari Panggamulan. Di bawah Manungkyli, Parujar dari Sang Alas Galu. Pu Viryya, penduduk dari Paka-Lang-kyang di bawah pagar Vsi. Matanda dari Sang Dasagar, Pu Tuan penduduk dari Sru Ayun dibawah Hino. Tuhan dari Raka Dvaraga si Myat Hayu Parvvta, penduduk dari Summilak dibawah Vka. Tuhan dari Martandakan Samgat Gunung Tanayan Pu Basu penduduk dari Kalungan di bawah Vka juga menerima masing- masing satu set pakaian berwarna sejumlah masa emas.
Menurut Drs. MM Sukarto K. Atmodjo, penetapan menjadi sima tersebut meliputi: gua, katika, gaga dan semua dipersembahkan kepada parahyangan di Parivutan. Dari nama- nama tempat watu tihang, diidentifikasikan sebagai Salatiang di kecamatan Loano karena dekat dengan tempat tersebut banyak ditemukan batu- batu tegak seperti tiang Batu (Sela Tihang), Mantyasih (Meteseh- Magelang), Taji(daerah Prambanan), dan Kalungan (Kalongan - Loano).yang cukup menarik sima Kayu Ara Hiwang dipersembahkan untuk parahyangan yang masuk dalam wilayah Pariwutan tempat sang Ratu Bajra tinggal. Dalam pengertian lain parahyangan tersebut menjadi tanggungjawab Sang Ratu Bajra. Seorag penulis menfasir sang Ratu Bajra adalah Daksa, orang kedua dalam hirarki pemerintahan Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura. Selain berkedudukan sebagai Mahapatih i Hino, ternyata disebut juga sebagai sang ratu, yang kedudukannya setingkat raja. Dengan demikian yang dinamakan “parahyangan” tersebut bisa dipastikan merupakan tempat yang sangat penting sebagai tempat para dewata atau dewa atau nenek moyang bertempat tinggal. Dan dalam kepercayaan jawa maupun tradisi nenek moyang raja- raja Mataram yakni Syailendra. Yang berarti Syaila= batu atau gunung dan Indra = raja. Syailendra artinya Raja gunung atau tuan yang datang dari gunung. Mungkin juga tuan yang turun dari kahyangan, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang dan para dewata. Dan satu-satunya tempat yang sesuai. Menurut Thoyib Djumadi bahwa yang disebut “Parahyangan” dalam prasasti Batu Kayu Ara Hiwang adalah Seplawan. dan patut disebut “parahyangan” tidak lain adalah Seplawan yang terletak dipegunungan Menoreh yang letaknya relatif dekat dengan Kayu Ara Hiwang. Dari uraian tersebut terungkap bahwa dari tanah lungguh Maharaja Dyah Balitung Watukura yang meliputi aliran sungai Bagawanta atau sungai Watukura merupakan wilayah Galuh yang merupakan asal muasal nama Bagelen.
Rabu, 18 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar