Sabtu, 19 Juni 2010

Purworejo tercinta

Sudah lama blog ini tidak mengalami perkembangan dikarenakan banyak faktor, namun saya akan mencoba menulis lagi beberapa hal mengenai sejarah terutama Purworejo. Sepekan yang lalu saya punya kesempatan untuk mencari berbagai bahan bagi kepentingan study, kebetulan tempat yang saya pilih adalah Perpusnas dan ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Sebenarnya bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di kedua gedung tersebut, namun yang sangat luar biasa sekali saya mempunyai banyak waktu untuk mencari bahan di kedua tempat tersebut. Dalam perjalanan itu telah kuniatkan untuk mencari ilmu baru dan senantiasa berdoa semoga mendapatkan hasil yang maksimal, bahkan berkat doa orang-orang terkasih hasil yang kudapatkan sungguh luar biasa tak terduga, insyaallah suatu saat akan saya publikasikan jika sudah waktunya. Sebenarnya saya juga seorang yang baru mulai belajar untuk memahami sejarah, terutama sejarah Purworejo dan sangat senang sekali jika ada kawan yang mau berbagi ilmu tentang hal ini. Supaya sejarah mengenai Purworejo akan semakin lengkap dan memudahkan anak cucu kita kelak untuk mengetahui sejarah dan warisan budaya yang ada di Purworejo.

Sabtu, 13 Februari 2010

Bagelen dan Bagawanta

Mengenai nama Bagelen dan Bagawanta menurut seorang sejarawan yang menghubungkan keduanya dengan nama “Bharga” dan “Bhaga”. Nama Bhaga yang sekeluarga dan seisi dengan nama kedua kata tadi, dipakai misalnya dengan nama julukan untuk savitri ( pembangunan kehidupan), dewa langit yang menjelmakan gaya menghidupkan matahari. Nama ini diberikan kepada salah satu dari para Aditya, dewa kesejahteraan dan cinta kasih, pendiri perkawinan. Diberikan pula kepada binatang bulan Phalguni. Kata ini berarti kemurahan hati, keuntungan, kesuburan, kesejahteraan, kehormatan, kecantikan, cinta kasih dan kasmaran. Lalu setiap dewa atau manusia yang secara aktif maupun pasif bersifat “ber- bhaga” disebut “bhagavat” juga pernah digabungkan dengan dewa siva dan bhagavati dengan durga, secara primer pengertian ini sesuai dengan apa yang disifatkan oleh visnu-krisna dan laksmi-sri. Menurut sejarawan tersebut, sesuai dengan tradisi jawa tentang nenek moyang bangsa jawa, maka menurut pendapat Ratu Sanjaya memindahkan kratonnya. Kraton tersebut dihias dengan nama “bharga”, kraton yang dulu terletak di wilayah sekitar pegunungan Dieng, menurut sejarawan tersebut mungkin dipojok utara wilayah itu, yang pernah bernama “ Bagelen”, suatu nama yang berhubungan dengan “Bhaga”. Dikatakan pula nama kraton kuno yang oleh berita-berita Tionghoa diberi bentuk “Ho-ling” seharusnya berbentuk “Bagelen”. Nama Bagelen ini tidak berasal dari kata “Bhagalina”, melainkan dari “Bhaga-halin” yang berarti warisan (bagian, untung), bagi si pembajak ini dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, putra sulung dan kandi awan (wisnu) panuhun namanya diangkat menjadi raja para petani, yang bertempat tinggal di Bagelen. Diungkapkan pulan nama (gelar) Bhagawanta didapat dari “Prasasti Mangullhi” (Dieng) dari tahun 864, juga dalam “Prasasti Randusari II”, Baghawanta Puncoha.




Oleh: Radix Penadi

Kamis, 11 Februari 2010

Bagelen dan Bagawanta

Mengenai nama Bagelen dan Bagawanta menurut seorang sejarawan yang menghubungkan keduanya dengan nama “Bharga” dan “Bhaga”. Nama Bhaga yang sekeluarga dan seisi dengan nama kedua kata tadi, dipakai misalnya dengan nama julukan untuk savitri ( pembangunan kehidupan), dewa langit yang menjelmakan gaya menghidupkan matahari. Nama ini diberikan kepada salah satu dari para Aditya, dewa kesejahteraan dan cinta kasih, pendiri perkawinan. Diberikan pula kepada binatang bulan Phalguni. Kata ini berarti kemurahan hati, keuntungan, kesuburan, kesejahteraan, kehormatan, kecantikan, cinta kasih dan kasmaran. Lalu setiap dewa atau manusia yang secara aktif maupun pasif bersifat “ber- bhaga” disebut “bhagavat” juga pernah digabungkan dengan dewa siva dan bhagavati dengan durga, secara primer pengertian ini sesuai dengan apa yang disifatkan oleh visnu-krisna dan laksmi-sri. Menurut sejarawan tersebut, sesuai dengan tradisi jawa tentang nenek moyang bangsa jawa, maka menurut pendapat Ratu Sanjaya memindahkan kratonnya. Kraton tersebut dihias dengan nama “bharga”, kraton yang dulu terletak di wilayah sekitar pegunungan Dieng, menurut sejarawan tersebut mungkin dipojok utara wilayah itu, yang pernah bernama “ Bagelen”, suatu nama yang berhubungan dengan “Bhaga”. Dikatakan pula nama kraton kuno yang oleh berita-berita Tionghoa diberi bentuk “Ho-ling” seharusnya berbentuk “Bagelen”. Nama Bagelen ini tidak berasal dari kata “Bhagalina”, melainkan dari “Bhaga-halin” yang berarti warisan (bagian, untung), bagi si pembajak ini dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, putra sulung dan kandi awan (wisnu) panuhun namanya diangkat menjadi raja para petani, yang bertempat tinggal di Bagelen. Diungkapkan pulan nama (gelar) Bhagawanta didapat dari “Prasasti Mangullhi” (Dieng) dari tahun 864, juga dalam “Prasasti Randusari II”, Baghawanta Puncoha.
Oleh: Radix Penadi

Rabu, 10 Februari 2010

Perdagangan Opium di Tanah Bagelen

Pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai wujud politik ekonomi kolonial mendapat perlawanan sengit didaerah Bagelen. Sementara di sisi lain sebagai kawasan baru yang masuk dalam kekuasaan Belanda, kemudian muncul perdagangan opium. Opium merupakan komoditi monopoli Pemerintah Kolonial Belanda, yang sudah ada sejak abad ke-17 pada zaman VOC. Pada saat itu opium sudah menjadi komoditi penting di tanah Jawa sebab ada di bawah berbagai perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan para penguasa pribumi. Perdagangan opium Belanda di Jawa ada sesudah perjanjian 1677, menurut perhitungan J.C Baud yang dikutip James R Rush dari tahun 1619-1799 setiap tahun resminya, VOC membawa rata-rata 56.000 kg opium mentah ke pulau Jawa, namun jumlah opium ilegal yang diselundupkan diduga jauh lebih besar.
Menurut Peter Carey tahun 1820 di sekitar Yogyakarta terdapat 372 tempat terpisah yang mempunyai lisensi untuk menjual opium. Sedangkan untuk memperoleh dana yang besar Belanda bekerjasama dengan kelompok elite tertentu memberi hak monopoli untuk memproduksi dan memperdagangkan opium pada tempat-tempat tertentu. Para bandar opium telah memanfaatkan adanya perkembangan penduduk pedesaan yang menyebar di perkotaan dan tinggal di dekat obyek ekonomi seperti pabrik, jalan kereta api dan perkebunan. Mereka datang sebagai kaum urban akibat dari transformasi ekonomi kolonial di Bagelen, Banyumas, Madiun dan Kediri sebagai daerah baru yang dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Penjualan opium ilegal yang marak dinilai sebagai bagian dari kebijakanan konvensional pegawai kolonial Belanda. Residen Bagelen Christian Castens yang bertugas 1863-1864 ketika melakukan inspeksi mendadak pada gudang lokal bandar opium di tanah Bagelen, ternyata menemukan jumlah opium tiga kali lipat. Pejabat setempat menyatakan bahwa opium tersebut legal, namun tidak dapat menunjukkan barang bukti. Sedangkan komisi penyelidik yang ditugaskan, menurut Castens telah disuap oleh bandar opium sebesar 10.000 gulden. Sehingga kelebihan opium tersebut dapat diselundupkan ke Banyumas.

Kraman di Purworejo

Tahun 1830 Perang Jawa atau yang juga dikenal dengan nama Perang Diponegoro telah usai sebab Pangeran Diponegoro telah ditangkap di Magelang 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, namun para pengikutnya masih melakukan perlawanan, dengan dukungan para petani yang merasa tertindas dengan diberlakukannya sistem tanam paksa. Salah satu daerah yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah daerah selatan tanah Bagelen.
Sementara di Kutoarjo tahun 1847 muncul pemberontakan yang disusul tahun-tahun berikutnya akibat pemaksaan tanaman indigo (nila). Perlawanan terhadap kolonialisme dan sistem ekonomi liberal tersebut dilakukan secara gerilya yang dinamakan “kraman”, Kraman adalah suatu perang gerilya dengan melakukan penyerangan terhadap kereta gerobak yang melintasi jalan dan kemudian setelah berhasil para penyerang menghilang. Selanjutnya perlawanan tersebut oleh Belanda di sebut “brandal atau “gerombiolan kecu”. Perlawanan tersebut berlanjut kadang-kadang dilakukan secara perseorangan sehingga kemudian sikap perlawanan tersebut merupakan salah satu tolak ukur keberanian laki-laki.

Minggu, 07 Februari 2010

Pembangunan Jalan di Purworejo Masa Belanda

Pasca Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang tanggal 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, banyak gangguan yang terjadi diwilayah sekitar kawasan wilayah Purworejo, terutama di perbatasan Magelang. Peristiwa ini dianggap membahayakan pemulihan ekonomi maupun keamanan Pemerintahan Hindia Belanda, maka akhirnya dibangun jalan yang hingga kini masih bisa digunakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari wilayah yang menjadi basis pengikut Pangeran Diponegoro yang masih setia bergerilya. Pembangunan sarana transportasi berupa jalan dimulai dari tahun 1836. Pada saat itu dibangun jembatan konstruksi batu bata pada sungai Bengkal di distrik Loano, diperkuat dengan konstruksi kayu jati dan glugu. Tahun 1838 dibuat pula jembatan pada sungai Bagawanta sepanjang 200 kaki, lebar 24 kaki dan tinggi 9 kaki. Pembangunan sarana jalan baru menurut seorang sejarah adalah akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Jalur ke arah utara ini dengan rute di luar daerah pengaruh Pangeran Diponegoro dari Loano melintasi bukit Cacaban, Bener, Kalijambe, Margoyoso, Salaman terus ke Magelang. Jalan baru alteratif ini dilaksanakan dengan wajib kerja umum oleh petani tanpa imbalan upah. Alasannya karena, jalan tersebut untuk kepentingan rakyat sendiri yang sudah sejak dahulu dipergunakan oleh para kuli angkut barang dari daerah Bagelen ke Semarang atau sebaliknya.asi untuk meningkatkan produksi pertanian maupun perkebunan.
Berdasarkan prasasti tugu peringatan pembangunan jalan di kecamatan Bener, dinyatakan bahwa jalur jalan baru yang diperingati dengan tugu tersebut dibangun atas perintah penguasa Karesidenan Bagelen Jonkh J.G o.s von Schmidt Auf altenstadh dan R.de Fillietas Bousqet dibantu oleh Raden Adipati Cokronagoro, Regent (Bupati) Purworejo tahun 1845-1850. Pembangunan jalan raya baru disisi lain dilaksanakan selama 3 tahun, dari tahun 1848-1850 dengan mengerahkan petani pada waktu luang dan dibiayai sebesar f 4.000 untuk pembelian peralatan dan dana untuk kenduri atau selamatan. Dengan adanya jalan baru ini, maka lalu lintas jalan raya dan angkutan barang dialihkan, yang semula lewat jalan tradisional dilewatkan jalan baru yang dianggap lebih aman dari gangguan kraman (pemberontak). Sedangkan jalan tradisional yang ada sengaja dibiarkan terbengkalai dan tersisihkan.
Selain itu untuk wilayah barat Purworejo dibangun jalan tepatnya melalui Kedungkebo hingga Gombong dan diteruskan ke Cilacap. Jalan baru tersebut sangat penting bagi mobilitas militer dalam mengamankan politik pemerintah dan memperlancar angkutan komoditi ekspor yang akan diangkut kapal melalui pelabuhan Cilacap, pelabuhan Semarang untuk di ekspor ke pasar Eropa.
oleh; Radix Penadi dengan perubahan

Sistem Tanam Paksa di Karesidenan Bagelen

Untuk menutup keuangan akibat perang di Eropa maupun Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang menyebabkan devisit anggaran sebesar 20 juta gulden, kemudian dilaksanakan suatu kebijakan yang disebut “cultuure stelsel” atau “politik tanam paksa” yang disertai pajak tanah “landrent”. Sebagai daerah yang subur tanah Bagelen dijadikan sebagai salah satu basis perkebunan pelaksanaan sistem tanam paksa. Berbagai tanaman komoditi yang laku di pasaran Eropa di haruskan ditanam oleh para petani di tanah Bagelen, jenis tanaman yang diharuskan antara lain; kopi, teh, tembakau, indigo (nila/tom), dan kayu manis serta tebu. Hasil tanaman tersebut harus diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan dan petani masih dikenalkan pajak penjualan 2/3 dari hasil panen kopi.
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch diharapkan akan memberikan keuntungan besar dari daerah-daerah jajahan di seluruh pulau Jawa. Untuk itu Van den Bosch mengeluarkan perintah yang berlaku untuk seluruh penduduk pribumi.Semenjak diterapkan tanam paksa di wilayah Bagelen, daerah subur yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu daerah kantong padi dengan cepat berubah menjadi daerah pusat komoditi tanaman ekspor. Penanaman nila di Bagelen sangat memberatkan penduduk, sebab para petani harus meninggalkan desa dan keluarganya untuk bekerja. Di tahun 1849/1850 seperti yang dikutip oleh Bram Peper dari Geschiedenis van het Cultuursteldsel mengungkapkan bahwa di Bagelen kehilangan 95.000 jiwa. Tahun 1889 Resien Bagelen menyebutkan adanya imigrasi “kuli jawa” ke pantai timur Sumatera, yang berasal dari afdeling Purworejo dan Kutoarjo.
Tanah Bagelen sebagai salah satu kawasan perkebunan penghasil komoditi eksport antara lain; kopi, teh, kayu manis dan nila (indigo). Kayumanis pada tahun 1842 di Bagelen sebanyak 2.821,5 pon. Pelaksanaan penanaman kayu manis terhadap penduduk yang tidak memiliki lahan mereka mendapat upah sekitar f 4,20 sampai f 5/ bulan, sedangkan mandor mendapat upah sebesar f 8,40. Pada tahun 1855 di Ambal dan Purworejo terdapat 284 KK penggarap pada 16 perkebunan dengan 787.788 batang tanaman dengan hasil lebih dari 29.000 pon. Bagelen merupakan daerah penghasil indigo terbaik di pulau jawa. Tahun 1857 areal perkebunannya seluas 8,435,625 bau dengan hasil 305.934 per bau 36,26 pon Amsterdam. Harga per pon Amsterdam f 1,89 total f 458,901. Indigo dari Bagelen di eksport ke Belanda, Perancis, Inggris, Amerika, Denmark dan Swedia. Tanaman teh terdapat di distrik Wonosobo, menurut data 1856 dari Kultur Verslag Residen Bagelen tanaman ini terdapat di daerah Reco, Kledung, Purwosari, Tegalsari, Kadu Pareng, Bedakah dan Jero. Di distrik Kalialam di lokasi Menjer, Tamparan, Kreo, Serang, Gembaga, Telogo dan Tambi. Untuk distrik Sapuran terdapat di desa Tanjungsari, Semilir, Sunter dan Sundi. Jumlah tanaman tersebut di tiga distrik 4.885.000 batang seluas 740 bau. Penanaman kopi secara besar-besaran dimulai tahun 1834 di Purworejo dan Ledok. Hasil kopi selama 5 tahun 1854-1858 meliputi 258.233,24 pikul atau setiap tahun sedikitnya menghasilkan kopi 29.924,56 pikul paling rendah dan tertinggi 63.843,47 pikul dengan melibatkan 153.894 keluarga sebagai tenaga kerja. Menurut James R Rush, hingga tahun 1861 sistem tanam paksa di Pulau Jawa sudah menghasilkan kekayaan yang mampu untuk membayar hutang perang Belanda bahkan lebih sehingga digunakan untuk membiayai pembangunan rel-rel kereta api.
oleh;Radix Penadi dengan perubahan