Sabtu, 19 Juni 2010

Purworejo tercinta

Sudah lama blog ini tidak mengalami perkembangan dikarenakan banyak faktor, namun saya akan mencoba menulis lagi beberapa hal mengenai sejarah terutama Purworejo. Sepekan yang lalu saya punya kesempatan untuk mencari berbagai bahan bagi kepentingan study, kebetulan tempat yang saya pilih adalah Perpusnas dan ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Sebenarnya bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di kedua gedung tersebut, namun yang sangat luar biasa sekali saya mempunyai banyak waktu untuk mencari bahan di kedua tempat tersebut. Dalam perjalanan itu telah kuniatkan untuk mencari ilmu baru dan senantiasa berdoa semoga mendapatkan hasil yang maksimal, bahkan berkat doa orang-orang terkasih hasil yang kudapatkan sungguh luar biasa tak terduga, insyaallah suatu saat akan saya publikasikan jika sudah waktunya. Sebenarnya saya juga seorang yang baru mulai belajar untuk memahami sejarah, terutama sejarah Purworejo dan sangat senang sekali jika ada kawan yang mau berbagi ilmu tentang hal ini. Supaya sejarah mengenai Purworejo akan semakin lengkap dan memudahkan anak cucu kita kelak untuk mengetahui sejarah dan warisan budaya yang ada di Purworejo.

Sabtu, 13 Februari 2010

Bagelen dan Bagawanta

Mengenai nama Bagelen dan Bagawanta menurut seorang sejarawan yang menghubungkan keduanya dengan nama “Bharga” dan “Bhaga”. Nama Bhaga yang sekeluarga dan seisi dengan nama kedua kata tadi, dipakai misalnya dengan nama julukan untuk savitri ( pembangunan kehidupan), dewa langit yang menjelmakan gaya menghidupkan matahari. Nama ini diberikan kepada salah satu dari para Aditya, dewa kesejahteraan dan cinta kasih, pendiri perkawinan. Diberikan pula kepada binatang bulan Phalguni. Kata ini berarti kemurahan hati, keuntungan, kesuburan, kesejahteraan, kehormatan, kecantikan, cinta kasih dan kasmaran. Lalu setiap dewa atau manusia yang secara aktif maupun pasif bersifat “ber- bhaga” disebut “bhagavat” juga pernah digabungkan dengan dewa siva dan bhagavati dengan durga, secara primer pengertian ini sesuai dengan apa yang disifatkan oleh visnu-krisna dan laksmi-sri. Menurut sejarawan tersebut, sesuai dengan tradisi jawa tentang nenek moyang bangsa jawa, maka menurut pendapat Ratu Sanjaya memindahkan kratonnya. Kraton tersebut dihias dengan nama “bharga”, kraton yang dulu terletak di wilayah sekitar pegunungan Dieng, menurut sejarawan tersebut mungkin dipojok utara wilayah itu, yang pernah bernama “ Bagelen”, suatu nama yang berhubungan dengan “Bhaga”. Dikatakan pula nama kraton kuno yang oleh berita-berita Tionghoa diberi bentuk “Ho-ling” seharusnya berbentuk “Bagelen”. Nama Bagelen ini tidak berasal dari kata “Bhagalina”, melainkan dari “Bhaga-halin” yang berarti warisan (bagian, untung), bagi si pembajak ini dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, putra sulung dan kandi awan (wisnu) panuhun namanya diangkat menjadi raja para petani, yang bertempat tinggal di Bagelen. Diungkapkan pulan nama (gelar) Bhagawanta didapat dari “Prasasti Mangullhi” (Dieng) dari tahun 864, juga dalam “Prasasti Randusari II”, Baghawanta Puncoha.




Oleh: Radix Penadi

Kamis, 11 Februari 2010

Bagelen dan Bagawanta

Mengenai nama Bagelen dan Bagawanta menurut seorang sejarawan yang menghubungkan keduanya dengan nama “Bharga” dan “Bhaga”. Nama Bhaga yang sekeluarga dan seisi dengan nama kedua kata tadi, dipakai misalnya dengan nama julukan untuk savitri ( pembangunan kehidupan), dewa langit yang menjelmakan gaya menghidupkan matahari. Nama ini diberikan kepada salah satu dari para Aditya, dewa kesejahteraan dan cinta kasih, pendiri perkawinan. Diberikan pula kepada binatang bulan Phalguni. Kata ini berarti kemurahan hati, keuntungan, kesuburan, kesejahteraan, kehormatan, kecantikan, cinta kasih dan kasmaran. Lalu setiap dewa atau manusia yang secara aktif maupun pasif bersifat “ber- bhaga” disebut “bhagavat” juga pernah digabungkan dengan dewa siva dan bhagavati dengan durga, secara primer pengertian ini sesuai dengan apa yang disifatkan oleh visnu-krisna dan laksmi-sri. Menurut sejarawan tersebut, sesuai dengan tradisi jawa tentang nenek moyang bangsa jawa, maka menurut pendapat Ratu Sanjaya memindahkan kratonnya. Kraton tersebut dihias dengan nama “bharga”, kraton yang dulu terletak di wilayah sekitar pegunungan Dieng, menurut sejarawan tersebut mungkin dipojok utara wilayah itu, yang pernah bernama “ Bagelen”, suatu nama yang berhubungan dengan “Bhaga”. Dikatakan pula nama kraton kuno yang oleh berita-berita Tionghoa diberi bentuk “Ho-ling” seharusnya berbentuk “Bagelen”. Nama Bagelen ini tidak berasal dari kata “Bhagalina”, melainkan dari “Bhaga-halin” yang berarti warisan (bagian, untung), bagi si pembajak ini dikaitkan dengan Babad Tanah Jawi, putra sulung dan kandi awan (wisnu) panuhun namanya diangkat menjadi raja para petani, yang bertempat tinggal di Bagelen. Diungkapkan pulan nama (gelar) Bhagawanta didapat dari “Prasasti Mangullhi” (Dieng) dari tahun 864, juga dalam “Prasasti Randusari II”, Baghawanta Puncoha.
Oleh: Radix Penadi

Rabu, 10 Februari 2010

Perdagangan Opium di Tanah Bagelen

Pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai wujud politik ekonomi kolonial mendapat perlawanan sengit didaerah Bagelen. Sementara di sisi lain sebagai kawasan baru yang masuk dalam kekuasaan Belanda, kemudian muncul perdagangan opium. Opium merupakan komoditi monopoli Pemerintah Kolonial Belanda, yang sudah ada sejak abad ke-17 pada zaman VOC. Pada saat itu opium sudah menjadi komoditi penting di tanah Jawa sebab ada di bawah berbagai perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan para penguasa pribumi. Perdagangan opium Belanda di Jawa ada sesudah perjanjian 1677, menurut perhitungan J.C Baud yang dikutip James R Rush dari tahun 1619-1799 setiap tahun resminya, VOC membawa rata-rata 56.000 kg opium mentah ke pulau Jawa, namun jumlah opium ilegal yang diselundupkan diduga jauh lebih besar.
Menurut Peter Carey tahun 1820 di sekitar Yogyakarta terdapat 372 tempat terpisah yang mempunyai lisensi untuk menjual opium. Sedangkan untuk memperoleh dana yang besar Belanda bekerjasama dengan kelompok elite tertentu memberi hak monopoli untuk memproduksi dan memperdagangkan opium pada tempat-tempat tertentu. Para bandar opium telah memanfaatkan adanya perkembangan penduduk pedesaan yang menyebar di perkotaan dan tinggal di dekat obyek ekonomi seperti pabrik, jalan kereta api dan perkebunan. Mereka datang sebagai kaum urban akibat dari transformasi ekonomi kolonial di Bagelen, Banyumas, Madiun dan Kediri sebagai daerah baru yang dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Penjualan opium ilegal yang marak dinilai sebagai bagian dari kebijakanan konvensional pegawai kolonial Belanda. Residen Bagelen Christian Castens yang bertugas 1863-1864 ketika melakukan inspeksi mendadak pada gudang lokal bandar opium di tanah Bagelen, ternyata menemukan jumlah opium tiga kali lipat. Pejabat setempat menyatakan bahwa opium tersebut legal, namun tidak dapat menunjukkan barang bukti. Sedangkan komisi penyelidik yang ditugaskan, menurut Castens telah disuap oleh bandar opium sebesar 10.000 gulden. Sehingga kelebihan opium tersebut dapat diselundupkan ke Banyumas.

Kraman di Purworejo

Tahun 1830 Perang Jawa atau yang juga dikenal dengan nama Perang Diponegoro telah usai sebab Pangeran Diponegoro telah ditangkap di Magelang 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, namun para pengikutnya masih melakukan perlawanan, dengan dukungan para petani yang merasa tertindas dengan diberlakukannya sistem tanam paksa. Salah satu daerah yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah daerah selatan tanah Bagelen.
Sementara di Kutoarjo tahun 1847 muncul pemberontakan yang disusul tahun-tahun berikutnya akibat pemaksaan tanaman indigo (nila). Perlawanan terhadap kolonialisme dan sistem ekonomi liberal tersebut dilakukan secara gerilya yang dinamakan “kraman”, Kraman adalah suatu perang gerilya dengan melakukan penyerangan terhadap kereta gerobak yang melintasi jalan dan kemudian setelah berhasil para penyerang menghilang. Selanjutnya perlawanan tersebut oleh Belanda di sebut “brandal atau “gerombiolan kecu”. Perlawanan tersebut berlanjut kadang-kadang dilakukan secara perseorangan sehingga kemudian sikap perlawanan tersebut merupakan salah satu tolak ukur keberanian laki-laki.

Minggu, 07 Februari 2010

Pembangunan Jalan di Purworejo Masa Belanda

Pasca Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang tanggal 25 Maret 1830 dan di asingkan ke Manado yang kemudian di pindahkan ke Makasar, banyak gangguan yang terjadi diwilayah sekitar kawasan wilayah Purworejo, terutama di perbatasan Magelang. Peristiwa ini dianggap membahayakan pemulihan ekonomi maupun keamanan Pemerintahan Hindia Belanda, maka akhirnya dibangun jalan yang hingga kini masih bisa digunakan. Hal ini dilakukan untuk menghindari wilayah yang menjadi basis pengikut Pangeran Diponegoro yang masih setia bergerilya. Pembangunan sarana transportasi berupa jalan dimulai dari tahun 1836. Pada saat itu dibangun jembatan konstruksi batu bata pada sungai Bengkal di distrik Loano, diperkuat dengan konstruksi kayu jati dan glugu. Tahun 1838 dibuat pula jembatan pada sungai Bagawanta sepanjang 200 kaki, lebar 24 kaki dan tinggi 9 kaki. Pembangunan sarana jalan baru menurut seorang sejarah adalah akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Jalur ke arah utara ini dengan rute di luar daerah pengaruh Pangeran Diponegoro dari Loano melintasi bukit Cacaban, Bener, Kalijambe, Margoyoso, Salaman terus ke Magelang. Jalan baru alteratif ini dilaksanakan dengan wajib kerja umum oleh petani tanpa imbalan upah. Alasannya karena, jalan tersebut untuk kepentingan rakyat sendiri yang sudah sejak dahulu dipergunakan oleh para kuli angkut barang dari daerah Bagelen ke Semarang atau sebaliknya.asi untuk meningkatkan produksi pertanian maupun perkebunan.
Berdasarkan prasasti tugu peringatan pembangunan jalan di kecamatan Bener, dinyatakan bahwa jalur jalan baru yang diperingati dengan tugu tersebut dibangun atas perintah penguasa Karesidenan Bagelen Jonkh J.G o.s von Schmidt Auf altenstadh dan R.de Fillietas Bousqet dibantu oleh Raden Adipati Cokronagoro, Regent (Bupati) Purworejo tahun 1845-1850. Pembangunan jalan raya baru disisi lain dilaksanakan selama 3 tahun, dari tahun 1848-1850 dengan mengerahkan petani pada waktu luang dan dibiayai sebesar f 4.000 untuk pembelian peralatan dan dana untuk kenduri atau selamatan. Dengan adanya jalan baru ini, maka lalu lintas jalan raya dan angkutan barang dialihkan, yang semula lewat jalan tradisional dilewatkan jalan baru yang dianggap lebih aman dari gangguan kraman (pemberontak). Sedangkan jalan tradisional yang ada sengaja dibiarkan terbengkalai dan tersisihkan.
Selain itu untuk wilayah barat Purworejo dibangun jalan tepatnya melalui Kedungkebo hingga Gombong dan diteruskan ke Cilacap. Jalan baru tersebut sangat penting bagi mobilitas militer dalam mengamankan politik pemerintah dan memperlancar angkutan komoditi ekspor yang akan diangkut kapal melalui pelabuhan Cilacap, pelabuhan Semarang untuk di ekspor ke pasar Eropa.
oleh; Radix Penadi dengan perubahan

Sistem Tanam Paksa di Karesidenan Bagelen

Untuk menutup keuangan akibat perang di Eropa maupun Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang menyebabkan devisit anggaran sebesar 20 juta gulden, kemudian dilaksanakan suatu kebijakan yang disebut “cultuure stelsel” atau “politik tanam paksa” yang disertai pajak tanah “landrent”. Sebagai daerah yang subur tanah Bagelen dijadikan sebagai salah satu basis perkebunan pelaksanaan sistem tanam paksa. Berbagai tanaman komoditi yang laku di pasaran Eropa di haruskan ditanam oleh para petani di tanah Bagelen, jenis tanaman yang diharuskan antara lain; kopi, teh, tembakau, indigo (nila/tom), dan kayu manis serta tebu. Hasil tanaman tersebut harus diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan dan petani masih dikenalkan pajak penjualan 2/3 dari hasil panen kopi.
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch diharapkan akan memberikan keuntungan besar dari daerah-daerah jajahan di seluruh pulau Jawa. Untuk itu Van den Bosch mengeluarkan perintah yang berlaku untuk seluruh penduduk pribumi.Semenjak diterapkan tanam paksa di wilayah Bagelen, daerah subur yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu daerah kantong padi dengan cepat berubah menjadi daerah pusat komoditi tanaman ekspor. Penanaman nila di Bagelen sangat memberatkan penduduk, sebab para petani harus meninggalkan desa dan keluarganya untuk bekerja. Di tahun 1849/1850 seperti yang dikutip oleh Bram Peper dari Geschiedenis van het Cultuursteldsel mengungkapkan bahwa di Bagelen kehilangan 95.000 jiwa. Tahun 1889 Resien Bagelen menyebutkan adanya imigrasi “kuli jawa” ke pantai timur Sumatera, yang berasal dari afdeling Purworejo dan Kutoarjo.
Tanah Bagelen sebagai salah satu kawasan perkebunan penghasil komoditi eksport antara lain; kopi, teh, kayu manis dan nila (indigo). Kayumanis pada tahun 1842 di Bagelen sebanyak 2.821,5 pon. Pelaksanaan penanaman kayu manis terhadap penduduk yang tidak memiliki lahan mereka mendapat upah sekitar f 4,20 sampai f 5/ bulan, sedangkan mandor mendapat upah sebesar f 8,40. Pada tahun 1855 di Ambal dan Purworejo terdapat 284 KK penggarap pada 16 perkebunan dengan 787.788 batang tanaman dengan hasil lebih dari 29.000 pon. Bagelen merupakan daerah penghasil indigo terbaik di pulau jawa. Tahun 1857 areal perkebunannya seluas 8,435,625 bau dengan hasil 305.934 per bau 36,26 pon Amsterdam. Harga per pon Amsterdam f 1,89 total f 458,901. Indigo dari Bagelen di eksport ke Belanda, Perancis, Inggris, Amerika, Denmark dan Swedia. Tanaman teh terdapat di distrik Wonosobo, menurut data 1856 dari Kultur Verslag Residen Bagelen tanaman ini terdapat di daerah Reco, Kledung, Purwosari, Tegalsari, Kadu Pareng, Bedakah dan Jero. Di distrik Kalialam di lokasi Menjer, Tamparan, Kreo, Serang, Gembaga, Telogo dan Tambi. Untuk distrik Sapuran terdapat di desa Tanjungsari, Semilir, Sunter dan Sundi. Jumlah tanaman tersebut di tiga distrik 4.885.000 batang seluas 740 bau. Penanaman kopi secara besar-besaran dimulai tahun 1834 di Purworejo dan Ledok. Hasil kopi selama 5 tahun 1854-1858 meliputi 258.233,24 pikul atau setiap tahun sedikitnya menghasilkan kopi 29.924,56 pikul paling rendah dan tertinggi 63.843,47 pikul dengan melibatkan 153.894 keluarga sebagai tenaga kerja. Menurut James R Rush, hingga tahun 1861 sistem tanam paksa di Pulau Jawa sudah menghasilkan kekayaan yang mampu untuk membayar hutang perang Belanda bahkan lebih sehingga digunakan untuk membiayai pembangunan rel-rel kereta api.
oleh;Radix Penadi dengan perubahan

Makam Bulus Hadi Purwo

Makam Bulus terletak di dukuh Bulus Krajan, desa Bulus, kecamatan Gebang, kabupaten Purworejo. Di makam itu telah disemayamkan keluarga ulama Purworejo Trah Berjan An Nawawi dan juga makam Trah Wakil Residen Bagelen Raden Tumenggung Suronagoro. Makam tersebut terdapat di daerah perbukitan. Maka makam keluarga Cokronagoro I terletak di atas Bukit Bulus dan berbentuk teras berundak. Bagian paling depan merupakan halaman parkir dan menuju teras utama dihubungkan dengan undak-undakan untuk masuk ke bangunan transit. Pada bangunan utama, adalah makam KRT Prawironagoro bekas wedono Jenar, adik bungsu RAA Cokronagoro I yang telah dimakamkan dalam satu liang lahat. KRT Prawironagoro telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan RAA Cokronagoro I wafat 23 September 1862 pada usia 83 tahun. Disekitar makam utama terdapat sejumlah makam para istrinya. Pada teras pertama terdapat bangunan joglo yang ditopang oleh 4 soko guru dan 12 soko rowo yang dijadikan tempat transit. Tetapi masih dalam teras pertama itu, adalah makam RAA Cokronagoro III beserta istri. Kemudian agak ke selatan adalah makam RT Suronagoro bersama krandhahnya. Pada teras kedua adalah Krandhah Berjan An Nawawi. Teras paling belakang atau paling atas, itulah makam RAA Cokronagoro I dengan bentuk bangunan limasan. Komplek makam empat persegi panjang dengan bentuk arah ke selatan. Di atas pintu gapura arah utara terdapat tulisan dengan angka tahun 1835 dan di sebelah dalam tertulis 2002. Komplek makam dibatasi dengan pagar tembok keliling. Pintu gerbang dinaungi atap bentuk limasan, ditopang dua kolom persegi dengan daun pintu kupu tarung panil kayu. Pada halaman makam terdapat makam RAA Cokronagoro IV yang dulu dimakamkan di Lempuyangan, Yogyakarta. Tetapi kemudian dipindah tahun 2003. Terdapat juga makam Jayeng Kuwuh abdi setia RAA Cokronagoro I yang dahulu diangkat sebagai glondhng Sucen seumur hidup. Khusus makam RAA Cokronagoro I dinaungi cungkup bentuk limasan atap seng, dinding kawat rem, pintu kupu tarung panil ram. Bangunan cungkup dilapisi kain putih tipis terawang. Nisan bentuk lingga warna hitam kuning dengan motif tumpal dan diameter 18-52 cm, jirat persegi warna hitam dan diatasnya terdapat tulisan warna kuning. Jirat nisan itu terbuat dari batu. Di atas jirat terdapat tulisan dengan huruf jawa “ Kanjeng Rahaden Hadipati Cokronagoro” dan tahun dengan angka Jawa 17 -73, juga terdapat tulisan dengan huruf pegon. “Laillahaillawah Muhammadar Rosullulah” yang terdapat diantara dua nisan. Sejajar dengan nisan juga terdapat huruf pegon yang berbunyi “Hijrah Dzulhijah Awal”. Disebelah kiri terdapat makam garwa padmi Cokronagoro I Bendara Raden Ayu Tumenggung Cokronagoro I, Ibu Cokronagoro I dan garwa selir. Khusus untuk garwa selir dinaungi cungkup bentuk kerucut, dinding ram kawat dan pintu panil ram kawat. Di sebelah kanan terdapat makam Raden Tumenggung Suronagoro dan garwo selir dari Kaligesing. Selain makam itu masih terdapat makam kerabat Cokronagoro I.

Makam Kayu Lawang

Makam ini terletak di bukit Kayu Lawang, desa Mudal, kecamatan Purworejo, kabupaten Purworejo. Luas bangunan 54 m2. Bagian depan makam merupakan halaman parkir, untuk menuju ke makam RAA Cokronagoro II dihubungkan dengan jalan setapak di paving. Bagian paling depan sebelah barat jalan setapak menuju makam Cokronagoro II terdapat komplek makam kepatihan. Lokasi dibatasi dengan pagar tembok setengah dinding dengan pintu gerbang yang ada di bagian selatan. Bagian belakang komplek terdapat satu unit bangunan. Di dalam komplek makam tersebut terdapat sejumlah makam dengan nisan dari batu dengan bentuk nisan yang beraneka ragam. Di sebelah tenggara dari makam RAA Cokronagoro II terdapat cungkup makam Penghulu Landrat Baedowi yang merupakan salah satu pendiri Masjid Darul Muttaqin. Di sebelah timur makam Cokronagoro II terdapat makam para selir dan di lingkungan makam Cokronagoro II merupakan makam Krandhah Cokronagoro. Cokronagoro II merupakan putera kedua Cokronagoro I, namun makamnya terpisah. Tidak diketahui pasti sebabnya, sebab makam tersebut dibangun 1898 ketika Cokronagoro II belum meninggal dunia.

Selasa, 02 Februari 2010

Sarwo Edhie Wibowo

Dia mempunyai peran yang paling gemilang dalam mengatasi peristiwa G-30-S/PKI. Pada waktu itu Sarwo sebagai Komandan RPKAD yang sekarang dikenal sebagai Kopassus. Sarwo Edhie Wibowo langsung turun ke lapangan menaklukkan pemberontak dan menenangkan massa. Setelah itu berbagai jabatan militer dan sipil ia jalani, namun tidak sampai menjabat menteri. Jenderal yang brilyan dan jujur ini terakhir berpangkat Letnan Jenderal dan hanya menjabat Kepala BP7 (1984 1990). Sebelumnya ia menjabat Irjen Deplu (1978-1983) dan Dubes RI di Korea Selatan. Jabatan militer tertinggi dipegangnya adalah Gubernur Akabri (1970-1973), setelah sebelumnya menjabat Panglima Kodam XVII Cenderawasih (1968-1970) dan Panglima Kodam II Bukit Barisan (1967-1968). Ketika menjabat Pangdam XVII/Cenderawasih sejak tanggal 25 Juni 1968 sampai 1970, dengan pangkat Brigjen, Sarwo Edhi Wibowo mengubah kebijakan operasi tempur menjadi pendekatan persuasive di Irian Jaya. Kala itu, berbagai laporan menyebutkan, antara tahun 1964-1968 puluhan ribu penduduk tersungkur dihantam timah panas di daerah itu akibat sejumlah penduduk setempat menuntut kemerdekaan. Keadaan memilukan itu tampaknya menjadi perhatian serius Brigjen Sarwo Edhi Wibowo. Ia segera mengambil langkah tegas untuk memulihkan nama dan wibawa TNI yang sudah tercoreng di mata penduduk Irian Jaya. Di bawah nama sandi Operasi Wibawa, ia menindak tegas aparat yang sewenang-wenang terhadap rakyat, serta di lain pihak mengimbau pemberontak keluar dari hutan dan kembali ke desa. Ia menjamin mereka yang kembali tidak akan diproses secara hukum. Namun, seperti saat bertugas sebagai Pangdam II/Bukit Barisan di Medan, belum dua tahun bertugas sebagai Pangdam Cenderawasih, Sarwo Edhi digantikan Kolonel Acub Zainal pada 26 Januari 1970. Sejak itu pula operasi tempur dan intelijen dijadikan lagi sebagai ujung tombak. Ribuan personel pasukan didatangkan dari Jawa untuk memadamkan apa yang disebut aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka yang diketahui ada indikasi OPM digiring ke kamp-kamp tahanan. Sebagian dari mereka tidak pernah kembali lagi.
Tampaknya Presiden Soeharto cukup memperhitungkan potensi citra, kredibilitas dan kepemimpinan Sarwo Edhie bisa menjadi presiden. Sehingga jabatannya dibatasi. Namun Sarwo Edhie tak pernah memberontak. Ia mempertahankan kejujuran dan nilai-nilai kejuangan dan pengabdiannya kepada nusa dan bangsanya.Sejak kecil, bapak mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menikahi putrinya Hj Ani Kristiani Herawati, ini sudah bercita-cita berpenghasilan tetap dan mengabdi pada negara. Ayahnya, kepala rumah gadai di zaman Belanda adalah gambaran ideal baginya, model seorang sebagai pegawai negeri. Ternyata, Sarwo lebih berbakat sebagai komandan, daripada pegawai. Sebagaimana ditulis dalam Pusat Data dan Analis Tempo, Sarwo adalah gambaran seorang prajurit ideal. Masa kecilnya diwarnai dengan kenakalan anak-anak: berkelahi dan adu berani di arus deras sungai. Tetapi setelah belajar silat, ia malah tidak pernah berkelahi. ''Baru saya membuka jurus saja, lawan sudah kabur,'' ucapnya, tertawa. Dari membaca koran-koran bekas, Sarwo mengagumi Jepang dengan kemenangan demi kemenangannya menghadapi sekutu. Maka, ketika Jepang mengumumkan hendak mencari heiho, pembantu tentara, ia mendaftarkan diri di Surabaya. Namun, kemudian ia kecewa, dan berniat melarikan diri. Di asrama, kerjanya hanya memotong rumput, membersihkan WC, dan mengatur tempat tidur tentara Jepang. ''Kalaupun diajar perang, hanya memakai senjata kayu,'' katanya.
Keinginannya menjadi prajurit tersalur setelah ia dan seorang kawannya ikut bergabung dengan Peta. Ia lalu membentuk batalyon, tetapi kemudian bubar. Kemudian menghadapi masa tidak menentu. Baru setelah Achmad Yani mengajaknya kembali membentuk batalyon di Magelang, ia kembali sebagai prajurit. Sarwo juga senang bela diri, ia adalah Ketua Taekwondo Indonesia. Letnan jenderal purnawirawan ini juga menyukai film sejarah dan kolosal, seperti halnya Benhur, dan memilih Jenderal Mc. Arthur serta Jenderal Rommel sebagai tokoh yang dikaguminya. Namun ia tetap suka wayang dan keris. Ia pun mewariskan tujuh keris kepada ketujuh putra-putrinya, buah pernikahannya dengan Sunarti Sri Hadiyah. Anaknya yang tertua, mengikuti jejaknya, sebagai militer. Dua menantunya juga jenderal, salah satunya Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono yang tepilih menjadi Presiden yang oleh redaksi Tokoh Indonesia diamati sebagai awal dinasti Sarwo Edhie dalam puncak kepemimpinanIndonesia.
Sarwo Edhie meninggal di Jakarta 9 November 1989 dan dimakamkan di daerah kelahirannya Ngupasan, Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah.
Oleh: Hari Sudarmono
Sumber: tokohindonesia.com

Selasa, 26 Januari 2010

Awal Mula Nama Bagelen

Nama Bagelen, muncul dalam sejarah nasional sejak adanya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1775, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tersebut terjadi akibat dari perang saudara antara Susuhunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi atau Pangeran Sambernyowo yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Baik oleh Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta afdeling (wilayah) Bagelen tidak masuk dalam “wilayah negara”. Oleh sebab itu, afdeling tersebut dinamakan Mancanegara Kilen (sebab letaknya disebelah barat negara). Dalam perjanjian giyanti juga disebutkan Bagelen yang sebelumnya menjadi wilayah “negara agung” kerajaan Mataram juga dibagi menjadi dua bagian. Sebagian masuk wilayah Kasunanan Surakarta dan sebagian masuk wilayah Kasultanan Yogyakarta. Arti negara agung adalah sebuah wilayah yang banyak berisi tanah jabatan atau tanah lungguh atau tanah bengkok milik para pejabat kerajaan dan pangeran.
Seorang Belanda bernama A. Van Poel mengatakan nama Bagelen berasal dari istilah kethol Bagelen, yaitu priyayi atau bangsawan setempat yang ada di tanah Bagelen. Menurutnya Bagelen berasal dari nama orang. Pendapat tersebut berdasarkan cerita dan data yang dikumpulkan dari para kethol Bagelen. Dari cerita para kethol Bagelen dahulu ada wanita bernama Roro Rengganis yang mempunyai keahlian menenun. Setelah dewasa Roro Rengganis yang masih merupakan ketirunan raja dipersunting oleh Joko Awu-awu Langit yang berasal dari Gunung kelir. Dan setelah menikah kemudian menjadi Adipati dan bergelar Cokropermono.
Sementara ada dua versi yang menyebutkan asal-usul Joko Awu-awu Langit yang pertama disebutkan berasal dari Gunung Kelir dan dari Ambar Ketawang. Gunung Kelir merupakan kawasan pegunungan yang sangat tinggi menjulang seperti mau merapat ke langit. Versi kedua berasal dari daerah pantai yang ujung daerah tersebut mirip merapat ke langit. Sehingga disimpulkan oleh versi kedua kalau Joko Awu-awu Langit berasal dari Ambar Ketawang. Karena Awu-awu Langit artinya memang sama dengan Ambar Ketawang. Namun A. Van Poel berkeyakinan Jko Awu-awu Lngit berasal dari Gunung Kelir. Dari hasil perkawinan antara keduanya dikarunia tiga orang anak, yaitu; Roro Taker, Roro Pitrah dan Bagus Gentho.
Pada hari selasa wage kebetulan Joko Awu-awu Langit sibuk menumpuk padi di lumbung. Sedangkan istrinya sebuk menenun, datanglah seekor anak sapi dari arah belakang yang dikiranya anaknya Bagus Gentho yang minta minum. Kemudian Roro Rengganis menyusuinya dengan cara menyampirkan payudranya ke belakang, sebab kopek. Melihat hal tersebut Joko Awu-awu Langit menegur istrinya sambil tertawa. Mendapat teguran itu Roro Rengganis merasa terhina dan marah terhadap suaminya. Akhirnya keduanya bertengkar, apalagi ketika mencari kedua anaknya yaitu Roro Taker dan Roro Pitrah. Disemua tempat tak juga diketemukan, dan akhirnya mereka diketemukan berada di bawah tumpukan jerami yang ditumpuk oleh ayahnya sendiri. Atas kejadian tersebut Roro Rengganis makin marah dan kemudian mengusir suaminya. Joko Awu-awu Langit kemudian pergi dari rumah dan membawa anaknya yang masih hidup yakni Bagus Gentho. Sepeninggal suaminya kemudian Roro Rengganis mengalami duka yang dalam, hatinya sangat pegal (jawa-pegel). Dalam keadaan duka itu kemudian beliau pergi bertapa ke arah barat dan tidak pernah kembali. Menurut para kethol Bagelen Roro Rengganis kemudian melakukan tapa brata, dan karena kesungguhan dalan bertapa kemudian beliau bisa muksa (hilang) bersama raganya. Dengan terjadinya peristiwa dalam keluarga Adipati Cokropermono pada hari selasa wage hingga kini dianggap sebagai hari naas bagi orang Bagelen. Sedang desa tempat tinggal Roro Rengganis karena hatinya pegal sejak mengalami kehancuran keluaganya akhirnya diberi nama “Kapegelan” yang berasal dari kata “Pegel”. Dari nama kapegelan tersebut akhirnya berubah menjadi Bagelen. Demikian juga Roro Rengganis yang sering disebut Roro Wetan disebut juga Nyai Kapegelan atau Nyai Bagelen.
oleh; Radix Penadi

Minggu, 24 Januari 2010

Awal Mula Nama Purworejo

Mungkin banyak yang belum tau bahwa sebenarnya kota Purworejo dalam sejarahnya mengalami perjalanan yang sangat panjang sekali. Dahulu juga belum dikenal nama Purworejo dan nama Purworejo baru ada sejak tahun 1830. Nama Purworejo diusulkan oleh Raden Adipati Cokrojoyo, yang baru diangkat sebagai Adipati Brengkelan dan nama tersebut langsung disetujui oleh para pembesar negeri dan Komisaris Van Lawick Van Pabst. Pada saat itu Adipati Cokrojoyo kurang berkenan dengan nama Kadipaten Brengkelan. Sebab Brengkele mempunyai arti suka membantah dan tidak mau mengalah. Setelah memohon petunjuk kepada Allah SWT, kemudian terbersitlah sebuah nama yang bagus dan mempunyai arti yang baik serta mempunyai harapan atas masa depan yang gemilang. Nama yang beliau usulkan adalah Purworejo yang mempunyai arti awal dari kemakmuran yang akan dinikmati oleh para penduduknya. Pelantikan ini dilaksanakan pada hari Rabu Wage tanggal 17 Besar tahun Jimawal 1757 Jawa atau 1245 H yang bertepatan dengan tanggal 9 juni 1830. Cokrojoyo atau yang masa mudanya bernama Reso Diwiryo diberi gelar Raden Adipati Cokrojoyo. Pelantikan ini di lakukan di tanah Bagelen oleh komisaris Belanda untuk tanah-tanah Mancanegara bagian barat, yaitu Van Sevenhoven dan diambil sumpahnya oleh Kyai Haji Akhmad Badaruddin (bekas penasehat Pangeran Diponegoro) yang turut dalam perundingan di Magelang, dan kemudian diangkat sebagai penghulu landraad untuk Kadipaten Bagelen.
Dalam perjalanan sejarah kabupaten Purworejo tidak dapat lepas dari peranan Adipati Cokrojoyo atau yang setelah menjabat bupati bergelar RAA Cokronagoro I. Beliau merupakan bupati Purworejo I yang telah banyak berjasa dalam perkembangan pembangunan di kabupaten Purworejo. Banyak sekali hasil pembangunan fisik yang masih dapat dinikmati oleh warga Purworejo hingga saat ini, bahkan kemudian juga menjadi aset wisata terutama wisata religius. Diantaranya adalah Bedhug Pendhowo yang merupakan bedhug terbesar di dunia dengan bonggol kayu jati utuh dan Masjid Darul Mutaqqin. Selain itu juga dibangun Pendhopo kabupaten Purworejo, selokan kedhung puteri, alun-alun Purworejo dan yang juga tak kalah spektakuler adalah pembangunan Jalan Purworejo-Magelang. Maka sudah sepantasnya kita sebagai warga Purworejo bangga terhadap beliau yang telah banyak berjasa bagi kabupaten tercinta ini.

RAA Cokronagoro II

Untuk mengenal sejarah Purworejo lebih jauh, terutama mengenai tokoh-tokoh yang berperan didalamnya akan penulis ketengahkan berbagai hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah bupati Purworejo II yang bergelar RAA Cokronagoro II. Beliau memerintah dari tahun 1856 hingga 1896. RAA Cokronagoro II merupakan putera kedua dari RAA Cokronagoro I. Ibu kandungnya bernama Nyai Adipati Sepuh, puteri Kyai Kerto Menggolo dari Pengasih, Yogyakarta. Sedangkan kakak kandung RAA Cokronagoro II bernama Raden Bei Cokrosoro yang menjabat sebagai mantri gladag di keraton Surakarta menggantikan ayahnya sebelum sang ayah Reso Diwiryo menjabat sebagai Adipati Brengkelan yang kemudian hari berubah nama menjadi Purworejo. RAA Cokronagoro II sangat tekun menangani pertanian di daerahnya, saluran irigasi kedhung puteri yang pada zaman ayahnya memerintah hanya dibangun sampai wilayah kota Purworejo dilanjutkan hingga ke Banyuurip. Setelah itu pembangunan irigasi dilanjutkan hingga kawedanan Jenar. Dalam pembangunannya beliau minta bantuan Raden Mas Turkijo, seorang putera bupati Kutoarjo. Alasannya karena Raden Mas Turkijo dikenal sebagai ahli bangunan air dan pernah memperdalam ilmu bangunan air di Kalkuta, India. Disana Raden Mas Turkijo belajar mengenai pembangunan bendungan di sungai Gangga. Akhirnya dibangun Bendung Boro yang terletak di desa Boro. Bendung Boro ini jauh lebih besar dibanding irigasi kedhung puteri. Bendung Boro mampu mengaliri sawah seluas 5000 hektar. Pada masa pemerintahannya Purworejo dikenal sebagai daerah pertanian dijadikan basis tanam paksa. Pada masa pemerintahannnya beliau juga memugar pendhopo kabupaten yang sudah berumur 50 tahun. Pemugaran pendhopo kabupaten dilakukan sekitar lima tahun dan lama pemugaran satu tahun. Awal pemugaran dilakukan dengan tetenger “wiku wiworo saliro tunggal” tahun 1891, dan pemugaran selesai dengan tetenger candra sengkala “nembah trus murti ningrat” tahun 1892. Setelah meninggal beliau dimakamkan di makam “kayu lawang’, kelurahan Mudal Purworejo.
Sumber; dari buku karangan Atas Danusubroto dengan beberapa perubahan.

RAA Cokronagoro IV Pelopor Pendidikan di Purworejo

RAA Cokronagoro IV memerintah tahun 1907 hingga 1919. Raden Adipati Aryo Sugeng Cokronagoro IV merupakan putera RAA Cokronagoro III yang berasal dari isteri yang berasal dari keraton Yogyakarta. Beliau diangkat sebagai bupati kebetulan karena kedua kakaknya perempuan. Dan resmi memerintah tahun 1907 -1919, beliau telah aktif bergelut dipemerintahan sejak muda. Sebelumnya beliau juga sering mewakili ayahnya untuk menghadiri acara resmi atau dalam hal mengatur pemerintahan. Sebab saat itu ayahnya sering sakit. Sejak belum resmi menjadi bupati sudah banyak kegiatan yang dilakukannya, diantaranya beberapa saluran irigasi dan bendungan mulai dibangun sejak kedudukannya mewakili ayahnya. Bendungan yang menjadi karya RAA Cokronagoro IV antara lain ;
1) Bendung Penungkulan dengan selokannya
2) Bendung Guntur dengan selokannya
3) Bendung Kalisemo
4) Bendung Kedhung Pucang di desa Trirejo
RAA Cokronagoro IV mempunyai inisiatif untuk mendirikan sekolah desa yang lamanya hanya tiga tahun. Sekolah–sekolah itu didirikan di desa – desa yang padat penduduknya. Pada tahun 1911, di kabupaten Purworejo mulai didirikan sekolah “ongko loro” selama 5 tahun. Sekolah tersebut didirikan di ibukota asisten wedono (kecamatan) yang padat penduduknya, bagi murid sekolah ongko loro yang sudah tamat eksamen (ujian) bisa mengikuti kursus tambahan selama enam bulan. Mereka yang sudah tamat kursus bisa menjadi guru dan mengajar di sekolah “ongko loro”. RAA Cokronagoro IV sangat getol dalam mengingkatkan mutu pendidikan bagi rakyatnya, sejak tahun kelima sekolah ongko loro didirikan mulai banyak calon guru yang selesai mengikuti kursus, sehingga mulai tahun 1915 terdapat sejumlah sekolahan yang dibangun. Sekolah ongko loro yang didirikan antara lain;
1) Banyuasin untuk pendidikan anak- anak di wilayah asisten wedono Loano.
2) Pangen Gudhang untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Purworejo
3) Banyuurip untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Banyuurip
4) Bayan untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Bayan
5) Kemanukan untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Soko. (sebagai catatan dahulu di Purworejo ada asisten wedono Soko yang letaknya disebelah timur sungai Bagawanta. Tetapi kemudian kecamatan Soko dihapus dan kini masuk dalam wilayah Kecamatan Bagelen)
6) Kuwojo untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Bagelen
Pada masa itu juga didirikan sekolah khusus anak perempuan yang bernama “Meisjeskopschool” di Purwodadi dan Purworejo. Karesidenan Bagelen pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro IV sudah tidak ada sebab telah dihapus dan masuk dalam wilayah karesidenan Kedu. Sejak tanah Bagelen dan Banyumas diminta oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930, dijadikan status Gewest atau Residentie (karesidenan), dengan ibukotanya Purworejo. Sehingga kota Purworejo sebagai kota administrative berakhir tanggal 1 Agustus 1901. Pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro IV diadakan pemugaran benteng (tangsi) Kedhung Kebo. Tangsi yang dahulu hanya dengan pagar kawat berduri dan bambu oleh Pemerintah Hindia Belanda dibangun pagar tembok. Ini merupakan langkah Pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka mengawasi gerak-gerik RAA Cokronagoro IV yang akrab dengan keluarga taman siswa dari Yogyakarta. Dalam masa pemerintahannya juga dibangun rumah sakit umum pada tahun 1915 yang dilakukan oleh zending dan kemudian berubah nama menjadi RSUD saras Husada. Sementara Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembangunan rumah sakit militer. RAA Cokronagoro berjiwa keras, selama masa pemerintahannya beliau selalu ditekan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hak-haknya dibatasi, sehingga membuatnya berani menentang Pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini tidak disenangi oleh Belanda, dan ketika beliau menikahi wanita Eropa Johanna Giezenberg dianggap sebagai perkawinan yang keliru. Sebab dimata penjajah pribumi merupakan warga negara kedua. Warga negara nomor satu adalah Belanda dan Eropa dan dilarang keras pribumi meskipun bupati menikah dengan orang Eropa. RAA Cokronagoro IV diturunkan dari jabatannya dengan tidak hormat tahun 1919, dan kemudian pindah ke Yogyakarta. Setelah dua tahun menetap di Yogyakarta, beliau dipanggil oelh Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian melantik dirinya kembali sebagai bupati, namun pada hari yang bersamaan turun surat keputusan pensiun. Sesudah menerima surat keputusan pensiun beliau kembali ke Yogyakarta dan 15 tahun kemudian 29 Januari 1936 meninggal dunia dan dimakamkan di makam Lempuyangan yang semula menjadi makam khusus KRT Cokrojoyo.
Sumber; buku Atas Danusubroto dengan beberapa perubahan.

Sabtu, 16 Januari 2010

Sejarah Pasar Baledono

Pasar Baledono sebagai salah satu urat nadi perekonomian di Purworejo, saat ini kondisinya megah sebagaimana layaknya pasar modern. Namun tampaknya tidak banyak yang tahu, sejarah awal berdirinya pasar yang luasnya 13.600 m2, sebagaimana saat ini. Bahkan kini banyak yang tahu bahwa pasar tersebut adalah milik pemerintah kabupaten Purworejo, meskipun nama yang tetap dikenal tetap saja pasar Baledono. Pasar Baledono pada awalnya dibangun sekitar tahun 1850 an pada saat kepala desa Baledono dipegang oleh Soma Taruna. Pendirian pasar ini dimaksudkan sebagai bentuk usaha yang sah dari pemerintah desa, dimana dana yang masuk dipergunakan untuk penyelenggaraan operasional desa termasuk gaji bagi perangkat desa. Sebab pada saat itu pemerintahan desa Baledono belum mempunyai tanah bengkok untuk para perangkatnya. Akhirnya berdasarkan rembug desa setempat disepakati untuk membeli tanah dipinggir jalan yang sekarang menjadi JL. A Yani untuk didirikan pasar. Sedangkan biaya untuk pembelian tanah tersebut dilakukan dengan cara urunan beberapa perangkat desa. Mantan Bekel Baledono, mbah Sarijan Prawirodiharjo sebagaimana dikutip oleh Pers tanggal 30 Juli 1986 mengatakan dari sebidang tanah yang berhasil dibeli untuk pasar, lambat laun meluas kekanan, kekiri, dan kebelakang. Sehingga pasar Baledono akhirnya menjadi semakin luas. Bahkan dari dana bea yang berhasil ditarik oleh pemerintahan desa lambat laun juga bisa membeli tanah untuk bengkok perangkat desa.
Pasar Baledono di Minta Pemerintah
Melihat perkembangan pasar Baledono yang semakin besar, PEMDA kabupaten Purworejo sekitar tahun 1915-1920 mulai meliriknya. Pihak Regent Schap (pemerintah kabupaten) berkehendak mengambil alih pengelolaan pasar Baledono. Maksud pengambilalihan tersebut seperti yang dikatakan oleh mbah Saridjan agar pemerintah desa tidak kerepotan didalam melaksanakan tugasnaya melayani masyarakat. Pasar akan dikelola oleh pemerintah kabupaten Purworejo, sedangkan para pamong memikirkan tugas- tugas pemerintah desa. Niat pemerintah kabupaten untuk mengambil alih pengelolaan pasar ini nampaknya mendapat tantangan cukup keras, tidak saja dari pamong melainkan juga dari warga setempat. Hal ini dikarenakan pendirian pasar adalah murni dari masyarakat Baledono secara swadaya. Namun akhirnya niat pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan pasar Baledono kesampaian juga setelah sebelumnya melalui berbagai pertemuan dan musyawarah yang alot, serta melibatkan semua pihak baik masyarakat Baledono, pemerintahan kabupaten dan tokoh- tokoh masyarakat. Dalam kesepakatan tersebut antara lain disebutkan bahwa pihak desa akan melepaskan pengelolaan pasar tersebut kepada pemerintahan kabupaten dengan catatan pihak desa mendapat bagi hasil yang besarnya 30 %. Maksudnya sebagaimana yang diungkapkan oleh mbah Saridjan, desa mendapatkan 30 % dari penarikan bea (retribusi) pasar maupun pendapatan lain. Sedangkan 70 % menjadi hak pemerintah kabupaten. Namun demikian dalam kenyataannya perjanjian tersebut tidak sebagaimana yang diharapkan, karena pencarian 30 % tersebut baru bisa diterima 3 bulan sekali. Dalam kesepakatan tersebut juga disepakati, bahwa pihak pemerintah kabupaten bertanggung jawab atas perbaikan pasar dengan dana dari pemerintah kabupaten. Dan permintaan yang paling prinsip adalah sampai kapanpun pasar tersebut namanya tetap “Pasar Baledono” tidak bisa diganti dengan nama apapun.
Prosentase penerimaan bagi hasil pasar Baledono ini lancar sampai pemerintahan KADES Iskak yang menggantikan kakaknya Tamziz pada tahun 1920-1943. Hanya pada waktu itu pemerintahan Jepang, pembagian hasil itu menjadi tersendat bahkan tidak ada sama sekali. Kondisi itu terus berlanjut hingga tahun 1950 pemerintah kabupaten Purworejo menegaskan bahwa tidak ada lagi menerima bagian 30 % dari hasil penerimaan pasar tersebut ditiadakan dengan alasan rugi. Mbah Saridjan yang pada waktu itu mendapat mandat sebagai kepala desa karena kades Iskak meninggal dunia, melakukan protes keras. Sehingga pada saat itu dengan diantar camat purworejo waktu itu menghadap bupati untuk memperjuangkan hak penerimaan pasar. Meskipun prosentase pembagiannya tidak seperti dulu lagi besarnya.
Dalam pembahasan di DPRD, akhirnya diputuskan bahwa pasar Baledono akan mendapatkan bagian kas pasar besarnya 3%. Dengan rincian 2 % untuk pamong desa dan 1 % untuk kas desa. Waktu itu pamong bisa menerima putusan tersebut, sebab desa Baledono sudah memiliki tanah bengkok desa yang dibeli dari uang kas desa. Namun sejalan dengan tata pemerintahan dimana pasar Baledono berubah statusnya menjadi kelurahan pada tahun 1980, maka semua tanah bengkok milik desa Baledono diambil alih oleh PEMDA. Sedangkan para perangkatnya diangkat menjadi PNS. Bengkok yang diambil alih itu kemudian dikontrakkan dan sebagian besar juga jatuh ke perangkatnya. Mbah Saridjan sendiri yang mulai mengabdi sebagai perangkat desa sejak 1942 berbekal ijazah Schakel School (5 tahun) dan ditambah Ambacht School (sekolah teknik) selam 2 tahun, berhak juga menikmati beslit dari PEMDA sebagai PN, meski beliau harus pensiun setelah 3 bulan memegang SK tersebut.
Rudy Prasetyo dari berbagai sumber

POTRET SEBUAH AKULTURASI ISLAM-JAWA Hasil Kerja Walisongo di Kawasan Purworejo

Akhir abad ke-15, melalui Walisongo, Islam semakin menyebar luas di Jawa. Namun, ada satu wilayah yang saat itu masih hutan belantara, mayoritas penduduknya masih belum beragama Islam. Daerah itu bernama Bagelen, yang pada saat itu meliputi wilayah Purworejo, Kebumen, sebagian Wonosobo, dan Kutoarjo. Datanglah Sunan Kalijaga ke wilayah itu. Saat masuk ke Bagelen, ia konon bertemu tukang nderes atau pencari nira kelapa yang bernama Cakrajaya. Kagum dengan tingginya ilmu Sunan Kalijaga, Cakrajaya bermaksud berguru. Sunan Kalijaga menyuruh Cakrajaya bersamadi di dekat Sungai Bagawanta, lalu meninggalkannya sendiri. Setahun kemudian, ia bersama muridnya datang ke dekat sungai tempat Cakrajaya bertapa. Namun, di tempat itu tak terlihat apa-apa, kecuali rerumputan liar. Sunan Kalijaga menyuruh muridnya membakar rerumputan liar itu. Ternyata, Cakrajaya yang tak lain keturunan Nyai Ratu Bagelen masih bertapa di tempatnya semula. Namun karena tempatnya dibakar, punggung Cakrajaya gosong. Sejak saat itulah, Cakrajaya yang dikenal memiliki ilmu agama yang teguh disebut dengan Sunan Geseng (dari kata gosong). Melalui Sunan Geseng inilah dakwah agama Islam di Kadipaten Bagelen berkembang. Sebagai murid Sunan Kalijaga, gaya dakwah Sunan Geseng pun tak berbeda dengan metode gurunya, yakni mengakomodasi ajaran Syiwa-Buddha dalam Islam. Terjadilah akulturasi. Akulturasi ini menghasilkan komunitas Islam-Kejawen yang kuat di Bagelen. Komunitas ini masih bertahan hingga kini. “Di Bagelen, yang termasuk sekarang di Purworejo, banyak penganut Kejawen. Tetapi, mereka beragama Islam. Adat dan tata cara Jawa, seperti menjamas pusaka, menghormati pepunden, dan kepercayaan akan sengkala Jawa masih dipertahankan, meski mereka itu shalat,” ujar Oteng Suherman, pakar Sejarah Purworejo yang lama mendalami Komunitas Bagelen. Perpaduan Islam-Jawa ini menjadikan masyarakat Bagelen memiliki karakter khas. Sejak dulu warga Bagelen dikenal pemberani, jujur, setia, dan berjiwa besar. Tak ayal bila Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama), banyak merekrut orang Bagelen untuk perang melawan adipati di Jawa Timur yang menolak tunduk. Pada zaman kolonial Belanda, Bagelen adalah medan tempur Pangeran Diponegoro. Banyak prajurit Diponegoro dari Bagelen. Bahkan, di sini pulalah tentara Belanda banyak yang terbunuh.
Syiwa-Buddha
Menurut Oteng, dakwah Sunan Geseng di Bagelen dengan mengakomodasi kepercayaan Syiwa-Buddha bukan tanpa alasan. Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah. Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama Hindu-Syiwa. Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Demikian pula dengan Raden Caranggasing dari Jenggala. Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini.
Urat nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempat begawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora. Dengan latar belakang semacam itu, tak ada pilihan lain bagi Sunan Kalijaga maupun Sunan Geseng untuk tidak mengakomodasi nilai Syiwa-Buddha. Apalagi dalam beberapa hal ajaran Islam dan Syiwa- Buddha juga memiliki kesamaan. Memang, karakter khas warga Bagelen kini tak sekental dimasa lalu. Bahkan, secara geografis pun wilayah Bagelen mengerdil. Bila dulu pada masa sebelum tahun 1830 wilayahnya meliputi Berangkal (kini Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur (Wonosobo bagian selatan), tetapi setelah tahun 1830 Bagelen tinggal wilayah seluas empat kecamatan disebelah timur Purworejo. Pengerdilan wilayah Bagelen ini tak terlepas dari upaya Belanda menghentikan perlawanan sisa pengikut Pangeran Diponegoro di wilayah ini. Namun demikian, tradisi Islam-Jawa dalam banyak hal masih tampak. Legimin (66), sesepuh Desa Bagelen, Sabtu (28/1), mengatakan, setiap Jumat Kliwon, Selasa Kliwon, dan Kamis Wage, warga Bagelen mengadakan ritual sesaji kepada leluhur. Biasanya mereka mengunjungi petilasan Nyai Ageng Bagelen di Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo. “Mereka yang ke petilasan itu tidak hanya yang Kejawen, tetapi juga yang beragama Islam, bahkan Nasrani. Mereka menghormati Nyai Ageng Bagelen sebagai leluhur. Dan, meminta kepada Allah supaya Bagelen selamat dan sejahtera,” tuturnya. Pada bulan Sura ini, warga Bagelen, baik yang beragama Islam atau penganut Kejawen, melakukan jamasan pusaka. Mereka juga mengunjungi petilasan pepunden, seperti petilasan Nyai Ageng Bagelen, Banyu Urip, petilasan Sunan Geseng dan pepunden yang lain. Memang, tradisi Islam-Kejawen di Bagelen kini kian tergerus modernitas yang memasuki relung kehidupan di wilayah ini.
Oleh M Burhanudin
Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/30/jateng/30793.htm