Rabu, 30 Desember 2009

Peninggalan Sejarah Pada Masa Hindu - Budha

Setelah agama hindu berkembang di tanah Bagelen, daerah sepanjang aliran sungai besar yang sekarang dikenal dengan Bagawanta merupakan bagian penting dari Kerajaan Mataram Hindu. Sungai besar yang mengalir sejak kaki gunung Sumbing terus melingkar, bagaikan ular raksasa dan bermuara di samudera Hindia, dahulu kala dikenal sebagai sungai Watukura. Seorang pengembara dari Jawa Barat bernama Pujangga Manik dalam naskah kuno bahasa Sunda yang ditulisnya, secara jelas dan rinci menyebutkan nama-nama tempat sepanjang pulau jawa dan menyatakan bahwa sungai besar tersebut bernama Watukura. Daerah sepanjang aliran sungai itu merupakan daerah pelungguhan raja Mataram Kuno terbesar yaitu Dyah Balitung, seorang raja yang kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali bahkan hubungan internasionalnya hingga mencapai Madagaskar – Afrika.
Di sepanjang kedua tepi aliran sungai tersebut dahulu kala banyak terdapat bangunan- bangunan suci berupa kuil dan candi. Bekas- bekas bangunan tersebut terdapat antara lain di dusun Jetak (Maron), Mudalrejo (Loano), Baledono (Purworejo), Tambak, Boro, Bagelen dan dekat muara sungai tersebut sampai sekarang masih terdapat daerah bernama Watukura, yang disebut- sebut sebagai tempat mekdis penjenazahan leluhur raja Dyah Balitung. Bangunan- bangunan suci dikedua tepi aliran sungai tersebut terbuat dari batu dan bata merah dan diduga dilengkapi pula dengan bagian- bagian lain yang terbuat dari bahan bangunan non permanen. Merupakan bangunan suci agama hindu (siwa) dan budha. Oleh karena banyak pendeta yang berada di tepi sungai Watukura maka sungai itupun dinamakan sungai Bagawanta, yang artinya sungai tempat para bagawan (pendeta) berada. Atau bisa diartikan sebagai tempat para pendeta kerajaan berada, sebab sampai sekarang di pulau Bali masih terdapat para pendeta kerajaan yang di sebut bagawanta.
Dari sisa –sisa bangunan yang masih ada di Bagelen dan dukuh Keposong desa Kalirejo, kecamatan Bagelen terdapat bekas candi budha. Di dua tempat tersebut sekarang masih bisa dilihat fragmen monumen berupa stupa. Ada dugaan di dua tempat tersebut dahulu merupakan situs candi yang cukup besar. Bekas- bekas bangunan suci siwais yang masih ada sisanya antara lain terdapat di Kalongan (Loano), Baledono, Goa Seplawan (desa donorejo kecamatan Kaligesing), rangakaian goa- goa antara lain goa Gong, goa Lawang dan goa Silumbu di kecamatan Pituruh dan Kemiri. Bekas candi batu merah di kecamatan Ngombol, bekas tempat pemujaan di bukit Kaliwatubhumi desa Lugu kecamatan Butuh, bekas peninggalan kuno di Banyuurip, Purwodadi, Semagung (Bagelen). Di daerah –daerah yang dahulu masuk dalam wilayah Bagelen terdapat bekas bangunan monumen yang berupa siwais, tempat-tempat tersebut antara lain: Kutowinangun, Ambal, Somolangu (Kebumen) dan Logending (Ayah).

Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani

Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani lahir di Purworejo, 19 Juni 1922. Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) di Bogor yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Di Bogor, dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Di Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Achmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.


Achmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal
Pendidikan Formal :
HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935
MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
Pendidikan Militer :
Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
Pendidikan Heiho di Magelang
Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor
Command and General Staf College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA, tahun 1955
Spesial Warfare Course di Inggris, tahun 1956
Jabatan terakhir : Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) sejak tahun 1962
Bintang Kehormatan :
Bintang RI Kelas II
Bintang Sakti
Bintang Gerilya
Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II
Satyalancana Kesetyaan VII, XVI
Satyalancana G:O.M. I dan VI
SUMBER: www.ghabo.com dari Hari Sudarmono dengan beberapa perubahan.

Minggu, 13 Desember 2009

Goa Silembu dan Goa Silawang Yang Bersejarah

Goa –goa Bersejarah
Desa Kaliglagah yang terletak di kecamatan Kemiri, kabupaten Purworejo, dengan luas 270 hektar berada di pegunungan dengan ketinggian 50 M dpl. Jarak tempuh dari ibukota kabupaten mencapai 29 KM, sedangkan dari ibukota kecamatan kemiri hanya 11 KM. Hal yang tersimpan di desa itu antara lain potensi wisata Goa Silembu dan Goa Silawang yang sampai sekarang belum diketahui sejarah pastinya. Potensi wisata Goa Silembu sebenarnya sangat menarik untuk dikaji, bahkan sampai sekarang belum ada yang berhasil menguak sejarah sejarah goa Silembu secara pasti. Goa Silembu yang dibuat pada abad ke 8 pada masa kerajaan Hindu merupakan aset arkeologi kabupaten Purworejo. Adanya lingga dan yoni didalam goa sebagi tempat pemujaan, bahkan goa terbagi menjadi dua bagian menandakan bahwa goa Silembu menyimpan sejarah kehidupan pada zaman itu.
Goa Silawang yang tidak jauh lokasinya mempunyai keterkaitan pula dengan goa Silembu. Di dalam goa Silawang lingga dan yoni terdapat tempat pemujaan yang masih nampak utuh, dan dari 3 pintu goa yang masih tersisa hanya 2 pintu goa yang dapat dimasuki oleh pengunjung. Bahkan diperkirakan oleh peneliti arkeologi UGM kalau di desa Kaliglagah masih ada goa sejenis yang belum dapat ditemukan keberadaannya yang tidak jauh dari goa Silembu.
Adanya makam- makam desa Kaliglagah juga menyimpan misteri sejarah desa seperti makam Mbah Sapujangga, Trangguli, Suji, Jangkung dan Mbah Prajurit yang kesemuanya makamnya mengitari desa dan menandakan desa Kaliglagah mempunyai misteri yang belum terungkap. Dan yang menarik diperkirakan masih ada sekelompok kawanan kera abu- abu yang berada di pegunungan atau bukit- bukit desa Kaliglagah.
Mitos Kera desa Kaliglagah
Menurut salah seorang tetua desa Kaliglagah Mbah Kromorejo, dulu ratusan kera masih sering berkeliaran di sekitar desa. Namun sekarang sudah tak pernah terlihat lagi, meskipun demikian sampai sekarang penduduk masih meyakini kalau kawanan kera itu masih ada sekalipun jumlahnya tinggal puluhan. Menurut mbah Kromorejo, kawanan kera itu mempunyi tabiat aneh layaknya manusia.Sebab suatu ketika ada seorang perempuan yang masuk hutan sendirian dan diperkosa oleh kera namun tidak dibunuh. Kejadian itu tidak hanya sekali terjadi di hutan Kaliglagah. Sehingga sampai kini masih diyakini ada di hutan Ngigir, sehingga perempuan yang masuk hutan harus berhati- hati. Sebenarnya untuk memasuki kawasan pegunungan di perbukitan Kaliglagah bisa menjadi kegiatan wisata lokal yang cukup menyenangkan. Kawasan hutan pinus, lereng- lereng bukit yang cukup terjal, menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Apalagi di sebelah timur bukit pada waktu musim hujan dapat dilihat air terjun yang cukup indah, namun air terjun tersebut masuk wilayah desa Sukogelap. Berbagai potensi yang dimiliki oleh desa Kaliglagah cukup banyak diantaranya tanaman kapulogo, gadung dan batu split. Kapulogo banyak tumbuh di sela- sela hutan pinus dan lahan lainnya, bahkan kapulogo mempunyai prospek cerah. Tanaman gadung banyak dijumpai di Kaliglagah. Kalau musim kemarau masyarakat Kaliglagah banyak yang berusaha membuat kerupuk gadung. Batu split yang juga merupakan potensi wilayah yang banyak melimpah di sepanjang sungai telah banyak memberi kesejahteraan bagi masyarakat.

Sejarah Pendidikan di Tanah Bagelen

Seorang penulis Perancis Guilot C, cukup mengenal kondisi dan latar belakang sejarah tanah Bagelen akhir abad XIX. Karena pada tahun 1981 di kota Paris ia telah menulis dan menerbitkan sebuah buku kajian berjudul “L ‘Affair Sadrach Essai de Christianisation a Java ou XIXe siecle”. Buku ini pada tahun 1985 sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kyai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa”. Buku ini meriwayatkan bagaimana perkembangan agama kristen kerasulan yang berpusat di desa Karangjoso, kecamatan Butuh kabupaten Purworejo berkembang dan berpengaruh di sejumlah tempat di pulau jawa pada abad XIX.
Pada waktu Guilot C ditugaskan sebagai dosen yang diperbantukan UGM, ia menyempatkan datang ke Purworejo. Guilot mengungkapkan bahwa kedatangannya di Purworejo dalam rangka mencari letak pesantren- pesantren kuno yang banyak tersebar di tanah Bagelen dalam rangka penelitian untuk mencari dimana pusat pembuatan kertas “ delancang” berada. Delancang adalah sejenis kertas berkualitas prima dengan ketebalan kira-kira 180 gram terbuat dari kulit kayu, yang pada abad ke XIX dan mungkin juga sebelumnya banyak digunakan untuk pembuatan dokumen dan surat menyurat, karena pada waktu itu masih ditulis dengan “pentutul”, atau pena yang dicelupkan pada botol atau tempat tinta. Dari pengungkapan Guilot dapat diketahui bahwa tanah Bagelen di luar sudah sangat terkenal dengan pesantrennya. Bahkan yang cukup ekstrem menurt K.H N Arifin Husein,MBA, seorang Kyai Muda di Semarang yang tenar sebagai panglima laskar berani matinya Gus Dur, bahwa ada semacam kepercayaan dibeberapa tempat, untuk bisa menjadi besar dan tenar sebelum menjadi seorang Kyai, seseorang perlu lebih dahulu mondok dan menimba ilmu di pesantren-pesantern tanah Bagelen. Kebenaran dan kepercayaan tersebut bukan mustahil antara lain disebabkan oleh tuanya usia pendidikan islam berbentuk pondok pesantren di wilayah Bagelen. Dari telah sejarah perkembangan agama islam di pulau jawa setelah Demak, adalah tanah Bagelen sebelah timur sungai Lukulo yang merupakan wilayah kedua yang mengalami islamisasi. Mubaligh yang terkenal dalam pengembangan agama islam tersebut adalah sunan Geseng.
Maka tidak heran jika di desa Watubelah atau daerah lain di wilayah Loano yang semula bernama Watutihang atau sekarang Salatiang terdapat pesantren tua di tanah Bagelen. Pada perkembangan selanjutnya berkembanglah pesantren-pesantren di daerah Bruno, Somolangu, Ngemplak, Sidomulyo, Mlaran, Maron,Berjan, dan Bulus .
Sejarah pendidikan yag lebih tua terselengara pada zaman klasik hindu sekalipun belum ada bukti tertulis tentang hal tersebut, namun dari situs peninggalan masa klasik hindu seperti yang ada di daerah kecamatan Kemiri dan Pituruh, jelas menunjukkan adanya bekas semacam asrama dalam bentuk serangkaian goa buatan manusia terletak tidak jauh dari aliran sungai. Goa -goa tersebut dilengkapi dengan sarana ritual terbuat dari batu monolith yang ada di daerah India Selatan. Sistem asrama seperti yang bekasnya masih ada di kecamatan Kemiri tersebut bukan mustahil adalah cikal bakal dari padepokan, suatu sitem pendidikan budi luhur spiritual kejawen yang menurut suatu penelitian banyak berpusat di tanah Bagelen.
Sejarah pendidikan secara barat, terjadi pada paska perang jawa (1925-1930). Karena perang telah usai, daerah Kedungkebo, komplek militer yang didirikan sebagai basis garnisun pasukan Belanda di tanah Bagelen dikembangkan menjadi sebuah kota modern. Sekolah dasar pertama yang didirikan adalah sekolah dasar pendidikan militer untuk anak- anak eropa “Europesche Soldateen School”. Sekolah dasar untuk anak- anak pribumi “Inlandsche School” atau dikenal sebagai “Provinciale School” yang dibangun di belakang gereja kristen di kampung Plaosan di timur alun- alun Purworejo. Pada awal abad ke XX, tercatat peristiwa penting di bidang pendidikan ala barat, yaitu didirikannya sekolah pendidikan guru “Holand Kuik School”. Komplek bangunan ini didirikan di bekas tanah lapangan atau alun- alun selatan setelah Kedungkebo digabung dengan Brengkelan yang waktu itu masih masuk wilayah kabupaten Tanggung (Ketanggung) menjadi kota baru purworejo. Komplek bangunan sekolah HKS ini cukup luas, selesai dibangun tahun 1905 dilengkapi dengan asrama dan perumahan guru,. Dihalamannya dahulu banyak ditanam pohon-pohon langka. HKS adalah lembaga pendidikan langka, karena diseluruh pulau jawa, pada waktu itu hanya tercatat 2 atau 3 lembaga serupa. Kemegahan bagunan dan singkatan HKS tersebut malah ada yang menafsirkan sebagai “Holand Koningen School”, atau sekolah raja atau kerajaan. Dengan adanya HKS tersebut, ternyata banyak melahirkan kaum intelek di kalangan pribumi, yang kemudian mempunyai kesadaran nasioanal sehingga terlibat dalam aktivitas yang dikemudian hari dikenal sebagai kebangkitan nasional. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau di tanah Bagelen lahir dan muncul tokoh- tokoh nasional dari berbagai aliran politik, ada yang nasionalis, agamis sosialis sampai komunis. Oleh karena itu bangunan HKS yang sekarang digunakan sebagai gedung SMA 7 Purworejo termasuk bangunan cagar budaya, bukan saja karena latar belakang sejarahnya namun karena juga mempunyai bentuk arsitektur khas, yang harus dijaga kebersihan dan keutuhannya. Karena bisa disebut sebagai monumen pendidikan. Sayang sejumlah buku koleksi perpustakaan tersenut pada masa orde baru karena dianggap sebagi buku terlarang telah dimusnahkan. Menurut catatan Purworejo paska perang kemerdekaan merupakan kabupaten atau ibukota kabupaten pertama yang diberi sekolah menengah atas negeri. Berkat perjuangan para bekas tentara pelajar yang didelegasikan lewat Pamuji tokoh masyarakat Purworejo yang berangkat mengahadap Menteri pendidikan dan kebudayaan di Jakarta. SMA negeri itu terkenal juga sebagai “Monumen Hidup TP Kedu Selatan” dimana sebagian dari mereka kemudian juga menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. Selain itu kabupaten Purworejo pernah ditunjuk pula sebagai kabupaten pertama yang melakukan “wajib belajar” pada sekitar tahun 1956. Hal ini dikenang dengan tugu belajar yang didirikan di 3 wilayah. Antara lain; di dekat jembatan perbatasan Kebumen - Purworejo. Di depan kantor kecamatan Bener dan di depan kantor Dinas Pendidikan kabupaten Purworejo. Namun tugu peringatan itu sekarang seolah hanya tonggak yang tidak mempunyai makna dan fungsi apapun karena tulisan (prasasti) yang tertulis sudah dihilangkan oleh cat dan kerusakan lain.
Oleh : Radix Penadi

WR. Supratman dan Kontroversi Kelahirannya

Wage Rudolf Supratman adalah “sang maestro” lagu kebangsaan “Indonesia raya”. Namun dalam perjalanan sejarah terdapat kontroversi mengenai dirinya diantaranya mengenai hari kelahiran dan tempat kelahirannya.
Mengenai kelahirannya ada 2 versi yaitu:
1. Senin wage 9 Maret 1903 versi ini tercantum dalam amar putusan Pengadilan Negeri Surabaya ketika kakak-kakaknya mengajukan penetapan ahli waris, karena ada seorang wanita dari Rembang yang mengaku sebagai istri WR Supratman. Tanggal 9 Maret akhirnya oleh pemerintah dijadikan hari musik Nasional saat Presiden RI dijabat oleh Megawati Soekarnoputri.
2. Kamis wage 19 Maret 1903 versi ini muncul dari sejumlah saksi ketika diperiksa dalam Pengadilan Negeri Purworejo, diungkapkan bahwa Ibu Siti Senen, ibu kandung WR Supratman dalam keadaan mengandung tua pulang ke desa asalnya yaitu Somongari pada hari kamis wage dan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki.
Namun dalam sejarah yang banyak ditulis mengakui bahwa WR Supratman lahir tanggal 9 Maret 1903.
Versi tempat kelahiran WR. Supratman :
1. Di “Maester Cornelis” atau sekarang Jatinegara, Jakarta 9 Maret 1903 versi ini dikutip dari penulis Matu Mona dan penulis Abdullah Puar. Versi ini bersumber dari jawaban surat yang diterima Matu Mona dari Ny. Rukiyem Supratinah (kakak WR.Supratman) yang ditulis oleh Urip Supardjo (adik WR. Supratman).
2. Di dukuh Trembelang, desa Somongari, kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo.

Kedua pendapat mengenai tempat kelahiran WR Supratman telah berupaya dijernihkan oleh PEMDA kabupaten Purworejo, melalui berbagai penelitian dan diskusi yang melibatkan pihak- pihak terkait sejak beberapa puluh tahun lalu. Sampai akhirnya diyakini bahwa WR Supratman memang lahir di desa Somongari. Untuk itu kemudian PEMDA Purworejo mendirikan monumen WR. Supratman, GOR WR Supratman serta jalan WR. Supratman sebagai bentuk penghargaan dan kebanggaan terhadap salah satu putera terbaiknya.
Sejarah versi Purworejo
Melalui serangkaian penelitian dan diskusi tentang asal usul kelahiran WR. Supratman, PEMDA Purworejo merasa yakin bahwa pencipta lagu Indonesia Raya itu lahir di Purworejo. Dia lahir dari seorang wanita bernama Mbok Senen, dari hasil perkawinannya dengan Partodikromo, seorang pribumi yang menjadi serdadu Belanda berpangkat kopral. Mbok Senen merupakan perempuan kelahiran Somongari, namun kemudian tinggal di Cimahi, Bandung untuk mengikuti tugas suaminya. Di Cimahi itu pula lahir ketiga anak perempuan yang merupakan kakak- kakak WR Supratman yaitu Soepratijah, Soepratinah dan Soepratijem. Namun kemudian mengandung anak keempat, mbok Senen purik (Pergi) dari suaminya dan kembali ke Somongari. Di tempat kelahirannya tepatnya dirumah kakeknya bernama Soprono, mbok Senen melahirkan seorang anak lelaki pada suatu hari pasaran wage di tahun 1903. Karena itulah anak lelaki itu kemudian diberi nama Wage sesuai hari pasarannya. Namun Wage kecil dan ibunya tidak lama di Somongari, karena Soepartijah anak tertua mbok Senen membawanya ke Jatinegara beserta mbok Senen. Pada saat itulah Soepartijah telah menikah dengan seorang Belanda bernama Rudolf Eldiek. Setelah berkumpul dengan keluarga barunya nama Wage ditambahi menjadi Rudolf Supratman dan dibuatkan keterangan lahir atau “ Geeborte Akte” di Jatinegara yang pada waktu itu bernama Maester Cornelis.
Dari sinilah nampaknya permasalahan itu muncul, apalagi kemudian ada sumber tertulis yaitu dari Pengadilan negeri Surabaya yang mengabulkan permohonan untuk ahli waris WR Supratman pada tahun 1958. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa WR Supratman lahir di Jatinegara tahun 1903, padahal biasanya sejarah ditulis berdasarkan sumber- sumber tertulis yang dianggap lebih faktual dibanding keterangan saksi- saksi hidup. Sehingga dalam perkembangannya sejarah menulis WR Supratman lahir di Jatinegara (Jakarta) bukan Purworejo. Namun demikian nampaknya akan lebih bijaksana apabila keterangan saksi hidup juga menjadi pertimbangan. Mengingat sumber-sumber tertulis (apalagi hanya satu dua) bisa saja dalam proses pembuatannya dipengaruhi oleh faktor- faktor tertentu. Seperti apa yang diungkapkan oleh Separdjo (adik tiri WR Supratman) bahwa pernyataan WR Supratman lahir di Jatinegara bukan di Somongari dimaksudkan untuk menjaga gengsi saja.
Kisah hidupnya
Setelah menjadi anak angkat keluarga Rudolf Eldik, WR Supratman disekolahkan di sekolah Belanda. Menurut beberapa sumber nama Rudolf diberikan untuk mempermudah memasukkan ke sekolah Belanda. Sementara sumber lain menyebutkan nama Rudolf itu muncul karena pada saat memainkan sandiwara untuk kepentingan amal, ia memerankan tokoh bernama Rudolf. Kepandaiannya bermain musik, membuat dirinya menjadi seorang komponis yang berhasil menciptakan sebuah mahakarya yakni “Indonesia Raya”. Meski dibesarkan dilingkungan yang sebagian besar orang Belanda, namun jiwa patriotisme WR Supratman tetap kental. Sekitar tahun 1926-1930 WR Supratman telah mengunjungi Somongari dua kali, banyak saksi hidup yang sempat dimintai keterangan yang melihat kedatanganWR Supratman. Karena kondisi ekonomi yang pas- pasan WR Supratman sering sakit- sakitan. Oleh saudara- saudaranya ia disarankan untuk istirahat di tempat kakaknya di Pemalang dan kemudian ke Surabaya. Pada tanggal 17 Agustus 1938 WR Supratman menghembuskan nafas terakhir di Surabaya. Beliau meninggal sebagai salah satu pahlawan yang jasanya tak akan pernah dilupakan oleh segenap rakyat.
Sumber: Kiprah Edisi agustus 2001 hlm.,5-6. & Wikepedia dengan beberapa perubahan.

WR Supratman Putera Daerah Purworejo

Kelahiran dan Masa di Makassar
Wage Rudolf Supratman adalah salah satu putera terbaik Purworejo, namanya selalu dikenang sepanjang masa oleh Bangsa Indonesia. Dengan mahakaryanya yang luar biasa yang selalu berkumandang di bumi Indonesia berupa lagu kebangsaan Indonesia Raya. WR merupakan singkatan dari Wage Rudolf, wage merupakan hari kelahiran dalam pasaran orang jawa sedangkan Rudolf adalah nama panggilannya karena saat itu WR Supratman dapat memerankan tokoh Rudolf dengan baik dalam sebuah drama di kota Makassar ketika ikut kakak iparnya. Ayahnya bernama Senen, seorang sersan Batalyon VIII. Saudara WR Supratman berjumlah enam satu laki- laki dan lainnya perempuan. Salah satu kakaknya bernama Roekijem.
Pada tahun 1914 wage ikut Roekijem ke Makassar, disana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem bernama Willem van Eldik seorang indo kelahiran Jawa Timur. Wage lalu belajar bahasa Belanda disekolah malam selama 3 tahun, kemudian melanjutkan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di sekolah angka 2, dan dua tahun selanjutnya mendapat ijazah Klien Ambtenaar. Roekijem sangat gemar sandiwara dan bermain musik, banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, karena kegemaram kakaknya inilah yang membuat wage juga senang bermain musik dan membaca- baca buku musik. Selama di Makassar inilah Wage mendapat pelajaran musik dari kakak iparnya Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Sehingga ketika tinggal di Jakarta suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Wage tertantang, kemudian mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
WR Supratman Sebagai Wartawan
Beberapa waktu lamanya wage bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Ujung Pandang, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan itu tetap dilakukan pada waktu ia pindah ke Jakarta. Wage ketika itu baru berusia 25 tahun bekerja sebagai wartawan surat kabar Sin Po, sebuah surat kabar yang diterbitkan kalangan Tionghoa di Jakarta dan menaruh simpati terhadap kaum pergerakan. Di surat kabar ini wage bekerja sebagai wartawan lepas yang dibayar berdasarkan jumlah berita atau tulisan yang dimuat. Hal ini dilakukan karena sejak beberapa tahun di kota Bandung, wage setelah susah payah mencari pekerjaan mengalami kegagalan. Dengan gaji yang pas- pasan akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan di Sin Po. Dalam kedudukannya sebagai wartawan itulah wage bisa berkenalan dengan tokoh- tokoh pergerakan, mewawancarai, berdiskusi dan menganalisis situasi pergerakan. Kongres pemuda yang diselenggarakan baik pertama maupun kedua tidak lepas dari perhatian dan liputannya. Ketika itu pemerintah hindia Belanda semakin ketat melakukan pengawasan dan penindasan terhadap gerak- gerik kaum pergerakan. Apalagi pada tahun 1926 dan 1927 baru saja meletus pemberontakan dan kerusuhan di berbagai tempat. Sekalipun dalam kondisi yang pas- pasan, namun wage yang dekat dengan kaum pergerakan tidak tinggal diam melihat ulah pihak Belanda yang melakukan penindasan. Untuk itu wage tidak segan- segan melakukan kecaman terhadap tindakan polisi penguasa, bahkan terhadap polisi Belanda yang melakukan penamparan pada seorang sais dokar, wage dengan tajam menurunkan berita kontrol dan mengkritik habis- habisan. Wage melalui tulisannya minta agar polisi Belanda tersebut ditindak oleh atasannya. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku “Perawan Desa”. Namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda. Supratman kemudian dipindahkan ke kota Singkang. Disitu tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi.
Dari Lagu ke Lagu
“Indonesia Raya”
Lagu “Indonesia” diciptakan wage untuk memenuhi tantangan zaman, karena ditengah maraknya kebangkitan nasionalisme sangat diperlukan adanya lagu perjuangan yang mampu membangkitkan semangat rakyat. Bahkan Soekarno tokoh PNI pada waktu itu, dalam pidatonya menyebutkan perlunya lagu kebangsaan. Kalimat yang berbunyi “Airnya yang kau minum, nasinya yang kau makan, hawanya yang kau hirup. Karena itu, kita semua harus mengabdi kepadanya, kepada ibu pertiwi. Kepada ibu Indonesia!”. Kalimat- kalimat itulah yang sangat mempengaruhi wage. Bahkan menurut suatu sumber, Bung Karno secara pribadi pernah menghubunginya dan menyatakan perlunya suatu lagu kebangsaan untuk pergerakan nasional. Atas dorongan itulah akhirnya wage seorang jurnalis yang serba kekurangan di bilik yang sempit di gang Kenari, Jakarta yang disewanya, hanya dengan penerangan lampu minyak, mencurahkan daya ciptaannya melahirkan sebuah lagu ditengah malam sepi, yang akhirnya diberi judul “Indonesia”.
Dalam kongres II wage meminta izin untuk memperdengarkan lagu ciptaanya berjudul “Indonesia”. Karena dalam kongres tersebut telah terjadi dua kali insiden dan polisi Belanda mengancam akan mengambil tindakan, gara- gara ada peserta yang menggunakan kata- kata “kemerdekaan”. Maka Sugondo sebagai pimpinan sidang hanya mengizinkan wage memperdengarkan lagunya saja, dan tidak dinyanyikan syairnya, karena Sugondo dalam teks banyak melihat syair yang menyebutkan nama Indonesia, padahal kongres berjalan dengan pengawasan ketat dan dihadiri seorang komisaris polisi Belanda. Suasana hening ketika Sugondo minta perhatian sidang, untuk mendengarkan lagu yang dimainkan dengan biola oleh wage. Itulah lagu “Indonesia” yang kemudian hari dikenal sebagai “Indonesia Raya”. Kongres II itulah yang kemudian melahirkan sumpah imemperdengarkan lagu tersebut untuk pertama kalinya dengan biolanya, hadirin peserta kongres pemuda tertegun dan tepuk tanganpun terdengar disertai seruan- seruan: Bis!, Bis!, Bis!, yang artinya hadirin minta lagu tersebut untuk diulangi. Diluar acara kongres, Sugondo Joyopupito ketua persidangan memberi tahu, bahwa seorang gadis kecil berusia 15 tahun, Dolly anak perempuan Agus Salim yang pada waktu itu menjadi anggota Nationale Islamitische Padvinderej (Natipy) akan menyanyikan lagu ciptaan wage tersebut. Dengan berpakaian pandu (pramuka), gadis kecil itupun ke mimbar dan naik diatas kursi agar dapat terlihat dari belakang, setelah mengambil suara di luar kepala dengan suara lantang tanpa iringan musik menyanyikan lagu “Indonesia”. Hadirin menjadi sangat terpesona dan tergugah rasa kebangsaannya tatkala Doly sampai pada syair yang berbunyi “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka? Tanahku negeriku yang kucinta Indones, Indones, Merdeka, Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya. Sejak saat itulah lagu “Indonesia” menjadi terkenal dan dihafalkan dan dinyanyikan oleh kaum pergerakan serta murid – murid sekolah di luar sekolah Gubernemen.
Sementara ini harian Sin Po tempat wage bekerja, melihat antusias para pemuda dan kaum pergerakan terhadap lagu tersebut telah mempublikasikannya dalam penerbitan sehingga itupun menjadi tersiar lebih luas. Bahkan karena besarnya perhatian masyarakat, sin Po memperbanyak jumlah cetakannya.
“Dari Barat Sampai Timur”
Sebagai seorang jurnalis nasionalis yang berbakat musik, menyambut pergerakan keras yang meletus tahun 1926, diciptakan sebuah lagu mars berjudul “dari barat sampai timur”. Inilah lagu pertama ciptaan wage yang kemudian hari sangat populer dan banyak dinyanyikan pasukan kita tatkala maju ke medan perang. Lagu ini menurut beberapa orang mirip dengan lagu kebangsaan Perancis “La Marseillaise”.
“Matahari Terbit”
Dalam keadaan melarat serba kekurangan dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, wage menjadi sosok yang diawasi ketat oleh PID, karena pada waktu itu pemerintahan Belanda berusaha keras memadamkan api perjuangan yang sudah dikobarkan di kalangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu kaum pergerakan diawasi dan dikejar – kejar dan ditekan. Wage ditangkap dan dibawa ke “Hopbiro” atau kantor polisi, diangkut dengan naik sepeda motor bersayap, karena lagunya dicurigai berkaitan dengan jepang, satu kekuatan negara asia menentang kejayaan barat waktu itu. Karena lambang Dai Nippon adalah matahari terbit, sedangkan lagu matahari terbit adalah judul ciptaan seorang seniman yang isinya menggugah segenap bangsa Indonesia untuk segera bangun dari tidurnya, bangkit untuk melihat kemulyaan tanah air.
“matahari sudah terbit putera ibu lekas bangun!Lihat cahaya yang mulia, lekas bangun, lekas bangun.
Hai puteraku yang berbudi, putera ibu yang sejati, mari lihat cahaya mulya Indonesia tanah airku”.
Di dalam sebuah bilik kecil di sebuah rumah gang mangga di kawasan Tambaksari, Surabaya sesosok tubuh laki- laki kerempeng tergolek dalam keadaan sakit parah. Melihat wajahnya yang pucat itu, laki- laki tersebut tergolong masih muda, ia baru saja keluar dari tahanan PID (Polisi Pengawas Keamanan) pemerintah Belanda gara- gara sebuah lagu ciptaanya “matahari Sudah Terbit” yang disiarkan lewat sebuah stasiun radio swasta dalam acara “padvinderstuur” atau jam pramuka.
WR Supratman
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda hingga jatuh sakit di Surabaya.karena lagu ciptaannya yang terakhir “Matahari Terbit” pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu- pandu di NIROM jalan Embong Malang- Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok- Surabaya. Ia meninggal 17 Agustus 1938 pada umur 35 Tahun.
Sumber Wikepedia dengan perubahan.