Selasa, 26 Januari 2010

Awal Mula Nama Bagelen

Nama Bagelen, muncul dalam sejarah nasional sejak adanya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1775, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tersebut terjadi akibat dari perang saudara antara Susuhunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi atau Pangeran Sambernyowo yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Baik oleh Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta afdeling (wilayah) Bagelen tidak masuk dalam “wilayah negara”. Oleh sebab itu, afdeling tersebut dinamakan Mancanegara Kilen (sebab letaknya disebelah barat negara). Dalam perjanjian giyanti juga disebutkan Bagelen yang sebelumnya menjadi wilayah “negara agung” kerajaan Mataram juga dibagi menjadi dua bagian. Sebagian masuk wilayah Kasunanan Surakarta dan sebagian masuk wilayah Kasultanan Yogyakarta. Arti negara agung adalah sebuah wilayah yang banyak berisi tanah jabatan atau tanah lungguh atau tanah bengkok milik para pejabat kerajaan dan pangeran.
Seorang Belanda bernama A. Van Poel mengatakan nama Bagelen berasal dari istilah kethol Bagelen, yaitu priyayi atau bangsawan setempat yang ada di tanah Bagelen. Menurutnya Bagelen berasal dari nama orang. Pendapat tersebut berdasarkan cerita dan data yang dikumpulkan dari para kethol Bagelen. Dari cerita para kethol Bagelen dahulu ada wanita bernama Roro Rengganis yang mempunyai keahlian menenun. Setelah dewasa Roro Rengganis yang masih merupakan ketirunan raja dipersunting oleh Joko Awu-awu Langit yang berasal dari Gunung kelir. Dan setelah menikah kemudian menjadi Adipati dan bergelar Cokropermono.
Sementara ada dua versi yang menyebutkan asal-usul Joko Awu-awu Langit yang pertama disebutkan berasal dari Gunung Kelir dan dari Ambar Ketawang. Gunung Kelir merupakan kawasan pegunungan yang sangat tinggi menjulang seperti mau merapat ke langit. Versi kedua berasal dari daerah pantai yang ujung daerah tersebut mirip merapat ke langit. Sehingga disimpulkan oleh versi kedua kalau Joko Awu-awu Langit berasal dari Ambar Ketawang. Karena Awu-awu Langit artinya memang sama dengan Ambar Ketawang. Namun A. Van Poel berkeyakinan Jko Awu-awu Lngit berasal dari Gunung Kelir. Dari hasil perkawinan antara keduanya dikarunia tiga orang anak, yaitu; Roro Taker, Roro Pitrah dan Bagus Gentho.
Pada hari selasa wage kebetulan Joko Awu-awu Langit sibuk menumpuk padi di lumbung. Sedangkan istrinya sebuk menenun, datanglah seekor anak sapi dari arah belakang yang dikiranya anaknya Bagus Gentho yang minta minum. Kemudian Roro Rengganis menyusuinya dengan cara menyampirkan payudranya ke belakang, sebab kopek. Melihat hal tersebut Joko Awu-awu Langit menegur istrinya sambil tertawa. Mendapat teguran itu Roro Rengganis merasa terhina dan marah terhadap suaminya. Akhirnya keduanya bertengkar, apalagi ketika mencari kedua anaknya yaitu Roro Taker dan Roro Pitrah. Disemua tempat tak juga diketemukan, dan akhirnya mereka diketemukan berada di bawah tumpukan jerami yang ditumpuk oleh ayahnya sendiri. Atas kejadian tersebut Roro Rengganis makin marah dan kemudian mengusir suaminya. Joko Awu-awu Langit kemudian pergi dari rumah dan membawa anaknya yang masih hidup yakni Bagus Gentho. Sepeninggal suaminya kemudian Roro Rengganis mengalami duka yang dalam, hatinya sangat pegal (jawa-pegel). Dalam keadaan duka itu kemudian beliau pergi bertapa ke arah barat dan tidak pernah kembali. Menurut para kethol Bagelen Roro Rengganis kemudian melakukan tapa brata, dan karena kesungguhan dalan bertapa kemudian beliau bisa muksa (hilang) bersama raganya. Dengan terjadinya peristiwa dalam keluarga Adipati Cokropermono pada hari selasa wage hingga kini dianggap sebagai hari naas bagi orang Bagelen. Sedang desa tempat tinggal Roro Rengganis karena hatinya pegal sejak mengalami kehancuran keluaganya akhirnya diberi nama “Kapegelan” yang berasal dari kata “Pegel”. Dari nama kapegelan tersebut akhirnya berubah menjadi Bagelen. Demikian juga Roro Rengganis yang sering disebut Roro Wetan disebut juga Nyai Kapegelan atau Nyai Bagelen.
oleh; Radix Penadi

Minggu, 24 Januari 2010

Awal Mula Nama Purworejo

Mungkin banyak yang belum tau bahwa sebenarnya kota Purworejo dalam sejarahnya mengalami perjalanan yang sangat panjang sekali. Dahulu juga belum dikenal nama Purworejo dan nama Purworejo baru ada sejak tahun 1830. Nama Purworejo diusulkan oleh Raden Adipati Cokrojoyo, yang baru diangkat sebagai Adipati Brengkelan dan nama tersebut langsung disetujui oleh para pembesar negeri dan Komisaris Van Lawick Van Pabst. Pada saat itu Adipati Cokrojoyo kurang berkenan dengan nama Kadipaten Brengkelan. Sebab Brengkele mempunyai arti suka membantah dan tidak mau mengalah. Setelah memohon petunjuk kepada Allah SWT, kemudian terbersitlah sebuah nama yang bagus dan mempunyai arti yang baik serta mempunyai harapan atas masa depan yang gemilang. Nama yang beliau usulkan adalah Purworejo yang mempunyai arti awal dari kemakmuran yang akan dinikmati oleh para penduduknya. Pelantikan ini dilaksanakan pada hari Rabu Wage tanggal 17 Besar tahun Jimawal 1757 Jawa atau 1245 H yang bertepatan dengan tanggal 9 juni 1830. Cokrojoyo atau yang masa mudanya bernama Reso Diwiryo diberi gelar Raden Adipati Cokrojoyo. Pelantikan ini di lakukan di tanah Bagelen oleh komisaris Belanda untuk tanah-tanah Mancanegara bagian barat, yaitu Van Sevenhoven dan diambil sumpahnya oleh Kyai Haji Akhmad Badaruddin (bekas penasehat Pangeran Diponegoro) yang turut dalam perundingan di Magelang, dan kemudian diangkat sebagai penghulu landraad untuk Kadipaten Bagelen.
Dalam perjalanan sejarah kabupaten Purworejo tidak dapat lepas dari peranan Adipati Cokrojoyo atau yang setelah menjabat bupati bergelar RAA Cokronagoro I. Beliau merupakan bupati Purworejo I yang telah banyak berjasa dalam perkembangan pembangunan di kabupaten Purworejo. Banyak sekali hasil pembangunan fisik yang masih dapat dinikmati oleh warga Purworejo hingga saat ini, bahkan kemudian juga menjadi aset wisata terutama wisata religius. Diantaranya adalah Bedhug Pendhowo yang merupakan bedhug terbesar di dunia dengan bonggol kayu jati utuh dan Masjid Darul Mutaqqin. Selain itu juga dibangun Pendhopo kabupaten Purworejo, selokan kedhung puteri, alun-alun Purworejo dan yang juga tak kalah spektakuler adalah pembangunan Jalan Purworejo-Magelang. Maka sudah sepantasnya kita sebagai warga Purworejo bangga terhadap beliau yang telah banyak berjasa bagi kabupaten tercinta ini.

RAA Cokronagoro II

Untuk mengenal sejarah Purworejo lebih jauh, terutama mengenai tokoh-tokoh yang berperan didalamnya akan penulis ketengahkan berbagai hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Salah satunya adalah bupati Purworejo II yang bergelar RAA Cokronagoro II. Beliau memerintah dari tahun 1856 hingga 1896. RAA Cokronagoro II merupakan putera kedua dari RAA Cokronagoro I. Ibu kandungnya bernama Nyai Adipati Sepuh, puteri Kyai Kerto Menggolo dari Pengasih, Yogyakarta. Sedangkan kakak kandung RAA Cokronagoro II bernama Raden Bei Cokrosoro yang menjabat sebagai mantri gladag di keraton Surakarta menggantikan ayahnya sebelum sang ayah Reso Diwiryo menjabat sebagai Adipati Brengkelan yang kemudian hari berubah nama menjadi Purworejo. RAA Cokronagoro II sangat tekun menangani pertanian di daerahnya, saluran irigasi kedhung puteri yang pada zaman ayahnya memerintah hanya dibangun sampai wilayah kota Purworejo dilanjutkan hingga ke Banyuurip. Setelah itu pembangunan irigasi dilanjutkan hingga kawedanan Jenar. Dalam pembangunannya beliau minta bantuan Raden Mas Turkijo, seorang putera bupati Kutoarjo. Alasannya karena Raden Mas Turkijo dikenal sebagai ahli bangunan air dan pernah memperdalam ilmu bangunan air di Kalkuta, India. Disana Raden Mas Turkijo belajar mengenai pembangunan bendungan di sungai Gangga. Akhirnya dibangun Bendung Boro yang terletak di desa Boro. Bendung Boro ini jauh lebih besar dibanding irigasi kedhung puteri. Bendung Boro mampu mengaliri sawah seluas 5000 hektar. Pada masa pemerintahannya Purworejo dikenal sebagai daerah pertanian dijadikan basis tanam paksa. Pada masa pemerintahannnya beliau juga memugar pendhopo kabupaten yang sudah berumur 50 tahun. Pemugaran pendhopo kabupaten dilakukan sekitar lima tahun dan lama pemugaran satu tahun. Awal pemugaran dilakukan dengan tetenger “wiku wiworo saliro tunggal” tahun 1891, dan pemugaran selesai dengan tetenger candra sengkala “nembah trus murti ningrat” tahun 1892. Setelah meninggal beliau dimakamkan di makam “kayu lawang’, kelurahan Mudal Purworejo.
Sumber; dari buku karangan Atas Danusubroto dengan beberapa perubahan.

RAA Cokronagoro IV Pelopor Pendidikan di Purworejo

RAA Cokronagoro IV memerintah tahun 1907 hingga 1919. Raden Adipati Aryo Sugeng Cokronagoro IV merupakan putera RAA Cokronagoro III yang berasal dari isteri yang berasal dari keraton Yogyakarta. Beliau diangkat sebagai bupati kebetulan karena kedua kakaknya perempuan. Dan resmi memerintah tahun 1907 -1919, beliau telah aktif bergelut dipemerintahan sejak muda. Sebelumnya beliau juga sering mewakili ayahnya untuk menghadiri acara resmi atau dalam hal mengatur pemerintahan. Sebab saat itu ayahnya sering sakit. Sejak belum resmi menjadi bupati sudah banyak kegiatan yang dilakukannya, diantaranya beberapa saluran irigasi dan bendungan mulai dibangun sejak kedudukannya mewakili ayahnya. Bendungan yang menjadi karya RAA Cokronagoro IV antara lain ;
1) Bendung Penungkulan dengan selokannya
2) Bendung Guntur dengan selokannya
3) Bendung Kalisemo
4) Bendung Kedhung Pucang di desa Trirejo
RAA Cokronagoro IV mempunyai inisiatif untuk mendirikan sekolah desa yang lamanya hanya tiga tahun. Sekolah–sekolah itu didirikan di desa – desa yang padat penduduknya. Pada tahun 1911, di kabupaten Purworejo mulai didirikan sekolah “ongko loro” selama 5 tahun. Sekolah tersebut didirikan di ibukota asisten wedono (kecamatan) yang padat penduduknya, bagi murid sekolah ongko loro yang sudah tamat eksamen (ujian) bisa mengikuti kursus tambahan selama enam bulan. Mereka yang sudah tamat kursus bisa menjadi guru dan mengajar di sekolah “ongko loro”. RAA Cokronagoro IV sangat getol dalam mengingkatkan mutu pendidikan bagi rakyatnya, sejak tahun kelima sekolah ongko loro didirikan mulai banyak calon guru yang selesai mengikuti kursus, sehingga mulai tahun 1915 terdapat sejumlah sekolahan yang dibangun. Sekolah ongko loro yang didirikan antara lain;
1) Banyuasin untuk pendidikan anak- anak di wilayah asisten wedono Loano.
2) Pangen Gudhang untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Purworejo
3) Banyuurip untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Banyuurip
4) Bayan untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Bayan
5) Kemanukan untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Soko. (sebagai catatan dahulu di Purworejo ada asisten wedono Soko yang letaknya disebelah timur sungai Bagawanta. Tetapi kemudian kecamatan Soko dihapus dan kini masuk dalam wilayah Kecamatan Bagelen)
6) Kuwojo untuk anak – anak di wilayah asisten wedono Bagelen
Pada masa itu juga didirikan sekolah khusus anak perempuan yang bernama “Meisjeskopschool” di Purwodadi dan Purworejo. Karesidenan Bagelen pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro IV sudah tidak ada sebab telah dihapus dan masuk dalam wilayah karesidenan Kedu. Sejak tanah Bagelen dan Banyumas diminta oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930, dijadikan status Gewest atau Residentie (karesidenan), dengan ibukotanya Purworejo. Sehingga kota Purworejo sebagai kota administrative berakhir tanggal 1 Agustus 1901. Pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro IV diadakan pemugaran benteng (tangsi) Kedhung Kebo. Tangsi yang dahulu hanya dengan pagar kawat berduri dan bambu oleh Pemerintah Hindia Belanda dibangun pagar tembok. Ini merupakan langkah Pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka mengawasi gerak-gerik RAA Cokronagoro IV yang akrab dengan keluarga taman siswa dari Yogyakarta. Dalam masa pemerintahannya juga dibangun rumah sakit umum pada tahun 1915 yang dilakukan oleh zending dan kemudian berubah nama menjadi RSUD saras Husada. Sementara Pemerintah Hindia Belanda melakukan pembangunan rumah sakit militer. RAA Cokronagoro berjiwa keras, selama masa pemerintahannya beliau selalu ditekan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hak-haknya dibatasi, sehingga membuatnya berani menentang Pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini tidak disenangi oleh Belanda, dan ketika beliau menikahi wanita Eropa Johanna Giezenberg dianggap sebagai perkawinan yang keliru. Sebab dimata penjajah pribumi merupakan warga negara kedua. Warga negara nomor satu adalah Belanda dan Eropa dan dilarang keras pribumi meskipun bupati menikah dengan orang Eropa. RAA Cokronagoro IV diturunkan dari jabatannya dengan tidak hormat tahun 1919, dan kemudian pindah ke Yogyakarta. Setelah dua tahun menetap di Yogyakarta, beliau dipanggil oelh Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian melantik dirinya kembali sebagai bupati, namun pada hari yang bersamaan turun surat keputusan pensiun. Sesudah menerima surat keputusan pensiun beliau kembali ke Yogyakarta dan 15 tahun kemudian 29 Januari 1936 meninggal dunia dan dimakamkan di makam Lempuyangan yang semula menjadi makam khusus KRT Cokrojoyo.
Sumber; buku Atas Danusubroto dengan beberapa perubahan.

Sabtu, 16 Januari 2010

Sejarah Pasar Baledono

Pasar Baledono sebagai salah satu urat nadi perekonomian di Purworejo, saat ini kondisinya megah sebagaimana layaknya pasar modern. Namun tampaknya tidak banyak yang tahu, sejarah awal berdirinya pasar yang luasnya 13.600 m2, sebagaimana saat ini. Bahkan kini banyak yang tahu bahwa pasar tersebut adalah milik pemerintah kabupaten Purworejo, meskipun nama yang tetap dikenal tetap saja pasar Baledono. Pasar Baledono pada awalnya dibangun sekitar tahun 1850 an pada saat kepala desa Baledono dipegang oleh Soma Taruna. Pendirian pasar ini dimaksudkan sebagai bentuk usaha yang sah dari pemerintah desa, dimana dana yang masuk dipergunakan untuk penyelenggaraan operasional desa termasuk gaji bagi perangkat desa. Sebab pada saat itu pemerintahan desa Baledono belum mempunyai tanah bengkok untuk para perangkatnya. Akhirnya berdasarkan rembug desa setempat disepakati untuk membeli tanah dipinggir jalan yang sekarang menjadi JL. A Yani untuk didirikan pasar. Sedangkan biaya untuk pembelian tanah tersebut dilakukan dengan cara urunan beberapa perangkat desa. Mantan Bekel Baledono, mbah Sarijan Prawirodiharjo sebagaimana dikutip oleh Pers tanggal 30 Juli 1986 mengatakan dari sebidang tanah yang berhasil dibeli untuk pasar, lambat laun meluas kekanan, kekiri, dan kebelakang. Sehingga pasar Baledono akhirnya menjadi semakin luas. Bahkan dari dana bea yang berhasil ditarik oleh pemerintahan desa lambat laun juga bisa membeli tanah untuk bengkok perangkat desa.
Pasar Baledono di Minta Pemerintah
Melihat perkembangan pasar Baledono yang semakin besar, PEMDA kabupaten Purworejo sekitar tahun 1915-1920 mulai meliriknya. Pihak Regent Schap (pemerintah kabupaten) berkehendak mengambil alih pengelolaan pasar Baledono. Maksud pengambilalihan tersebut seperti yang dikatakan oleh mbah Saridjan agar pemerintah desa tidak kerepotan didalam melaksanakan tugasnaya melayani masyarakat. Pasar akan dikelola oleh pemerintah kabupaten Purworejo, sedangkan para pamong memikirkan tugas- tugas pemerintah desa. Niat pemerintah kabupaten untuk mengambil alih pengelolaan pasar ini nampaknya mendapat tantangan cukup keras, tidak saja dari pamong melainkan juga dari warga setempat. Hal ini dikarenakan pendirian pasar adalah murni dari masyarakat Baledono secara swadaya. Namun akhirnya niat pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan pasar Baledono kesampaian juga setelah sebelumnya melalui berbagai pertemuan dan musyawarah yang alot, serta melibatkan semua pihak baik masyarakat Baledono, pemerintahan kabupaten dan tokoh- tokoh masyarakat. Dalam kesepakatan tersebut antara lain disebutkan bahwa pihak desa akan melepaskan pengelolaan pasar tersebut kepada pemerintahan kabupaten dengan catatan pihak desa mendapat bagi hasil yang besarnya 30 %. Maksudnya sebagaimana yang diungkapkan oleh mbah Saridjan, desa mendapatkan 30 % dari penarikan bea (retribusi) pasar maupun pendapatan lain. Sedangkan 70 % menjadi hak pemerintah kabupaten. Namun demikian dalam kenyataannya perjanjian tersebut tidak sebagaimana yang diharapkan, karena pencarian 30 % tersebut baru bisa diterima 3 bulan sekali. Dalam kesepakatan tersebut juga disepakati, bahwa pihak pemerintah kabupaten bertanggung jawab atas perbaikan pasar dengan dana dari pemerintah kabupaten. Dan permintaan yang paling prinsip adalah sampai kapanpun pasar tersebut namanya tetap “Pasar Baledono” tidak bisa diganti dengan nama apapun.
Prosentase penerimaan bagi hasil pasar Baledono ini lancar sampai pemerintahan KADES Iskak yang menggantikan kakaknya Tamziz pada tahun 1920-1943. Hanya pada waktu itu pemerintahan Jepang, pembagian hasil itu menjadi tersendat bahkan tidak ada sama sekali. Kondisi itu terus berlanjut hingga tahun 1950 pemerintah kabupaten Purworejo menegaskan bahwa tidak ada lagi menerima bagian 30 % dari hasil penerimaan pasar tersebut ditiadakan dengan alasan rugi. Mbah Saridjan yang pada waktu itu mendapat mandat sebagai kepala desa karena kades Iskak meninggal dunia, melakukan protes keras. Sehingga pada saat itu dengan diantar camat purworejo waktu itu menghadap bupati untuk memperjuangkan hak penerimaan pasar. Meskipun prosentase pembagiannya tidak seperti dulu lagi besarnya.
Dalam pembahasan di DPRD, akhirnya diputuskan bahwa pasar Baledono akan mendapatkan bagian kas pasar besarnya 3%. Dengan rincian 2 % untuk pamong desa dan 1 % untuk kas desa. Waktu itu pamong bisa menerima putusan tersebut, sebab desa Baledono sudah memiliki tanah bengkok desa yang dibeli dari uang kas desa. Namun sejalan dengan tata pemerintahan dimana pasar Baledono berubah statusnya menjadi kelurahan pada tahun 1980, maka semua tanah bengkok milik desa Baledono diambil alih oleh PEMDA. Sedangkan para perangkatnya diangkat menjadi PNS. Bengkok yang diambil alih itu kemudian dikontrakkan dan sebagian besar juga jatuh ke perangkatnya. Mbah Saridjan sendiri yang mulai mengabdi sebagai perangkat desa sejak 1942 berbekal ijazah Schakel School (5 tahun) dan ditambah Ambacht School (sekolah teknik) selam 2 tahun, berhak juga menikmati beslit dari PEMDA sebagai PN, meski beliau harus pensiun setelah 3 bulan memegang SK tersebut.
Rudy Prasetyo dari berbagai sumber

POTRET SEBUAH AKULTURASI ISLAM-JAWA Hasil Kerja Walisongo di Kawasan Purworejo

Akhir abad ke-15, melalui Walisongo, Islam semakin menyebar luas di Jawa. Namun, ada satu wilayah yang saat itu masih hutan belantara, mayoritas penduduknya masih belum beragama Islam. Daerah itu bernama Bagelen, yang pada saat itu meliputi wilayah Purworejo, Kebumen, sebagian Wonosobo, dan Kutoarjo. Datanglah Sunan Kalijaga ke wilayah itu. Saat masuk ke Bagelen, ia konon bertemu tukang nderes atau pencari nira kelapa yang bernama Cakrajaya. Kagum dengan tingginya ilmu Sunan Kalijaga, Cakrajaya bermaksud berguru. Sunan Kalijaga menyuruh Cakrajaya bersamadi di dekat Sungai Bagawanta, lalu meninggalkannya sendiri. Setahun kemudian, ia bersama muridnya datang ke dekat sungai tempat Cakrajaya bertapa. Namun, di tempat itu tak terlihat apa-apa, kecuali rerumputan liar. Sunan Kalijaga menyuruh muridnya membakar rerumputan liar itu. Ternyata, Cakrajaya yang tak lain keturunan Nyai Ratu Bagelen masih bertapa di tempatnya semula. Namun karena tempatnya dibakar, punggung Cakrajaya gosong. Sejak saat itulah, Cakrajaya yang dikenal memiliki ilmu agama yang teguh disebut dengan Sunan Geseng (dari kata gosong). Melalui Sunan Geseng inilah dakwah agama Islam di Kadipaten Bagelen berkembang. Sebagai murid Sunan Kalijaga, gaya dakwah Sunan Geseng pun tak berbeda dengan metode gurunya, yakni mengakomodasi ajaran Syiwa-Buddha dalam Islam. Terjadilah akulturasi. Akulturasi ini menghasilkan komunitas Islam-Kejawen yang kuat di Bagelen. Komunitas ini masih bertahan hingga kini. “Di Bagelen, yang termasuk sekarang di Purworejo, banyak penganut Kejawen. Tetapi, mereka beragama Islam. Adat dan tata cara Jawa, seperti menjamas pusaka, menghormati pepunden, dan kepercayaan akan sengkala Jawa masih dipertahankan, meski mereka itu shalat,” ujar Oteng Suherman, pakar Sejarah Purworejo yang lama mendalami Komunitas Bagelen. Perpaduan Islam-Jawa ini menjadikan masyarakat Bagelen memiliki karakter khas. Sejak dulu warga Bagelen dikenal pemberani, jujur, setia, dan berjiwa besar. Tak ayal bila Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama), banyak merekrut orang Bagelen untuk perang melawan adipati di Jawa Timur yang menolak tunduk. Pada zaman kolonial Belanda, Bagelen adalah medan tempur Pangeran Diponegoro. Banyak prajurit Diponegoro dari Bagelen. Bahkan, di sini pulalah tentara Belanda banyak yang terbunuh.
Syiwa-Buddha
Menurut Oteng, dakwah Sunan Geseng di Bagelen dengan mengakomodasi kepercayaan Syiwa-Buddha bukan tanpa alasan. Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah. Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama Hindu-Syiwa. Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Demikian pula dengan Raden Caranggasing dari Jenggala. Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini.
Urat nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempat begawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora. Dengan latar belakang semacam itu, tak ada pilihan lain bagi Sunan Kalijaga maupun Sunan Geseng untuk tidak mengakomodasi nilai Syiwa-Buddha. Apalagi dalam beberapa hal ajaran Islam dan Syiwa- Buddha juga memiliki kesamaan. Memang, karakter khas warga Bagelen kini tak sekental dimasa lalu. Bahkan, secara geografis pun wilayah Bagelen mengerdil. Bila dulu pada masa sebelum tahun 1830 wilayahnya meliputi Berangkal (kini Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur (Wonosobo bagian selatan), tetapi setelah tahun 1830 Bagelen tinggal wilayah seluas empat kecamatan disebelah timur Purworejo. Pengerdilan wilayah Bagelen ini tak terlepas dari upaya Belanda menghentikan perlawanan sisa pengikut Pangeran Diponegoro di wilayah ini. Namun demikian, tradisi Islam-Jawa dalam banyak hal masih tampak. Legimin (66), sesepuh Desa Bagelen, Sabtu (28/1), mengatakan, setiap Jumat Kliwon, Selasa Kliwon, dan Kamis Wage, warga Bagelen mengadakan ritual sesaji kepada leluhur. Biasanya mereka mengunjungi petilasan Nyai Ageng Bagelen di Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo. “Mereka yang ke petilasan itu tidak hanya yang Kejawen, tetapi juga yang beragama Islam, bahkan Nasrani. Mereka menghormati Nyai Ageng Bagelen sebagai leluhur. Dan, meminta kepada Allah supaya Bagelen selamat dan sejahtera,” tuturnya. Pada bulan Sura ini, warga Bagelen, baik yang beragama Islam atau penganut Kejawen, melakukan jamasan pusaka. Mereka juga mengunjungi petilasan pepunden, seperti petilasan Nyai Ageng Bagelen, Banyu Urip, petilasan Sunan Geseng dan pepunden yang lain. Memang, tradisi Islam-Kejawen di Bagelen kini kian tergerus modernitas yang memasuki relung kehidupan di wilayah ini.
Oleh M Burhanudin
Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/30/jateng/30793.htm