Versi I
Dahulu di desa Bedhug terdapat seseorang bernama Ki Cakrajaya seorang penderes nira yang sangat miskin sehingga mendapat julukan Ki Petungmlarat, namun merupakan orang yang kuat tirakat dan tapabrata di tengah hutan belantara. Apabila melakukan tapabrata yang dimakan hanya daun- daunan. Selain itu Ki Cakrajaya sering pergi ke sungai untuk bertapa sehingga dia memiliki “kasinangan kramat” di beri keluhuran/ kesaktian. Setiap hari Ki Cakrajaya menderes kelapa dengan menggunakan bumbung bambu yang ditempatkan di pinggangnya, setiap kali akan memanjat pohon dia melafalkan mantra- mantra. Suatu hari saat Ki Cakrajaya hendak memanjat batang dan telah selesai melafalkan mantra, ditegur oleh seseorang yang menanyakan tentang mantra tersebut. Orang tersebut mengatakan kepada Ki Cakrajaya bahwa dia mempunyai mantra yang lebih hebat. Akhirnya Ki Cakrajaya mengajak orang tersebut ke rumahnya dan menyuruh mencetak gula satu tangkap, sebelum pulang orang tersebut berpesan agar cetakan jangan dibuka jika dia belum keluar dari desa Bedhug. Sepeninggal orang tersebut Ki Cakrajaya membuka cetakan gula dan terkejut sebab setangkap gula berubah menjadi emas yang berkilauan. Sekarang Ki Cakrajaya baru tau jika orang tersebut merupakan Sunan Kalijaga seorang mubaligh besar yang suka mengembara mengikuti aliran sungai. Ki Cakrajaya mengejar orang tersebut dan di beri tahu bahwa mantra yang dilafalkan tersebut merupakan dua kalimah syahadad akhirnya Ki cakrajaya meminta menjadi muridnya serta mengikuti kemana sunan Kalijaga mengembara. Dalam perjalanan itulah Ki Cakrajaya menimba ilmu agama.
Suatu ketika sunan Kalijaga berpamitan akan sembahyang ke Mekah dan menancapkan tongkat supaya dijaga oleh Ki Cakrajaya. Setelah lama berselang sekembalinya sunan Kalijaga dari Mekah keadaan tempat tersebut telah berubah menjadi “dhapuran pring” atau rumpun bambu yang berduri. Ki Cakrajaya tetap duduk bersila ditengah rumpun tersebut. Akhirnya tempat tersebut dibakar oleh sunan Kalijaga sebab Ki Cakrajaya tidak dapat keluar, namun kulitnya menjadi hitam akhirnya dia mendapat julukan sunan Geseng.
Versi II
Menurut naskah Bappeda Purworejo I ketika sunan Kalijaga dan Ki Cakrajaya sampai ditempat biasa menyadap aren, ingin menguji keteguhan iman Ki Cakrajaya. Maka sunan Kalijaga mencari “carang” atau ranting bambu dan menancapkan ke tanah sambil berkata: bahwa tongkat tersebut merupakan bukti kesetiaan apabila Ki Cakrajaya bisa menjaga tongkat tersebut maka ia akan menjadi muridnya yang utama. Sepeninggal sunan Kalijaga berdakwah Ki Cakrajaya tetap ditempat tersebut. Setelah urusan di Demak selesai sunan Kalijaga kembali ke Megulung Bagelen , dan mendapatkan ranting yang telah tumbuh rindang. Dan disekitarnya juga telah tumbuh alang-alang yang subur, namun Ki Cakrajaya masih tetap pada posisi semula dan badannya telah kurus serta terselubung gerumbulan alang-alang. Untuk menolong Ki Cakrajaya sunan Kalijaga membakar habis gerumbulan tersebut, namun Ki Cakrajaya masih hidup hanya pakaiannya yang habis terbakar dan punggungnya hitam.
Versi III
Dalam versi ini dikatakan bahwa sunan Kalojaga berpamitan akan pergi jauh dan menyuruh Ki Cakrajaya menjaga tongkat bambu sebagai tanda dan pegangan, lalu Ki cakrajaya menelungkup ke tanah. Setelah lebih setahun meninggalkan Ki Cakrajaya sunan Kalijaga kembali dari Cirebon. Sesampainya di tempat Ki Cakrajaya di tinggalkan telah tumbuh semak belukar, dan dibakar oleh sunan Kalijaga. Setelah belukar habis terbakar tampaklah Ki Cakrajaya yang masih tertelungkup di tanah dan tangannya memagang tongkat bambu kuning yang telah tumbuh menjadi pohon besar. Tubuh Ki Cakrajaya hangus terbakar, lalu di berilah julukan sunan Geseng.
Dari tempat tersebut kemudian sunan Geseng diajak berjalan ke arah timur . di sutu tempat sunan Kalijaga menancapkan tongkat dan ketika dicabut mengeluarkan air dan menjadi “sendang’ sunan Geseng disuruh mandi. Seketika kotoran tersebut hanyut dibawa aliran sungai hingga ke “kedung Pucung” sedangkan sendang tadi bernama “ Sendang Banyu Urip”. Sampai sekarang diyakini oleh penduduk jika para pegawai pemerintah tidak berani mandi di sungai ini karenamerupakan tempat tertampungnya kotoran yang melekat. Setelah itu perjalanan di lanjutkan ke barat hingga sampai pada suatu desa Ngajen kecamatan Dlingo, bantul dan disanalah sunan Geseng ngudi ilmu.
Ki Cakrajaya adalah seorang yang bersahaja dan sangat setia berpegang teguh pada patokan (tongkat bambu) yang diberikan oleh gurunya. Ki Cakrajaya digambarkan duduk bersila atau bersemedi memegang ajaran gurunya sedangkan dalam babad Demak digambarkan Ki Cakrajaya tengkurap menungging sambil tangannya memegang tongkat bambu yang menancap ditanah tempat dirinya menunggu sang guru. Tengkurap menungging selama setahun diartikan selama setahun itu Ki Cakrajaya melakukan syariat agama dengan mengamalkan sholat lima waktu untuk menjadi seorang muslim yang mukmin dengan berpegang teguh pada patokan ajaran gurunya yakni sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dikenal sebagi mubaligh yang beraliran Tuban yang luwes dalam melaksanakan dakwah islam. Seperti Ki cakrajaya yang mempunyai kebiasaan tradisional menyadap nira tradisi sunan Kalijaga dengan makna baru yaitu kalimat syahadad. Tongkat bambu kuning yang tumbuh subur berduri dan mengurung Ki Cakrajaya mungkin saja patokan sunan Kalijaga tentang fiqih yang berpangkat kepala empat akar utama yaitu; Al-Qur’an, Sunnah, ijma, dan Qiyas. Keempat akar usul fiqih tersebut jika dipelajari akan terus hidup dan berkembang sebagai jalan menuju tauhid. Oleh Ki Cakrajaya disiapkan sebagai seorang mubaligh maka perkembangan ilmu pengetahuan ke arah sufi mungkin juga dipengaruhi pandangan perlu dibersihkan dan membakar segala yang tumbuh liar dengan berdiskusi dan penggemblengannya yang akhirnya menginsyafkan dirinya keluar dari kungkungan onak duri dan alang- alang liar. Ki Cakrajaya kemudian muncul sebagai orang yang selesai melakukan tahap penggemblengan seperti halnya baja yang dibakar dan ditempa kemudian dibentuk sebagai keris pusaka yang ampuh dengan patokan yang tetap dipegang teguh. Ki Cakrajaya dengan nama sunan Geseng diperintahkan ke Lowano untuk menyebarkan agama islam dari tempat itu Bagelen bahkan bagian daerah Yogyakarta (Dlingo-Bantul) berhasil diislamkan. Sunan Geseng wafat dan dimakamkan di Grabag, Mungkit, kabupaten Magelang. Pesantern Watu Belah menurut Radix Penadi didirikan oleh sunan Geseng.
Senin, 16 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar