Kelahiran dan Masa di Makassar
Wage Rudolf Supratman adalah salah satu putera terbaik Purworejo, namanya selalu dikenang sepanjang masa oleh Bangsa Indonesia. Dengan mahakaryanya yang luar biasa yang selalu berkumandang di bumi Indonesia berupa lagu kebangsaan Indonesia Raya. WR merupakan singkatan dari Wage Rudolf, wage merupakan hari kelahiran dalam pasaran orang jawa sedangkan Rudolf adalah nama panggilannya karena saat itu WR Supratman dapat memerankan tokoh Rudolf dengan baik dalam sebuah drama di kota Makassar ketika ikut kakak iparnya. Ayahnya bernama Senen, seorang sersan Batalyon VIII. Saudara WR Supratman berjumlah enam satu laki- laki dan lainnya perempuan. Salah satu kakaknya bernama Roekijem.
Pada tahun 1914 wage ikut Roekijem ke Makassar, disana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem bernama Willem van Eldik seorang indo kelahiran Jawa Timur. Wage lalu belajar bahasa Belanda disekolah malam selama 3 tahun, kemudian melanjutkan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di sekolah angka 2, dan dua tahun selanjutnya mendapat ijazah Klien Ambtenaar. Roekijem sangat gemar sandiwara dan bermain musik, banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, karena kegemaram kakaknya inilah yang membuat wage juga senang bermain musik dan membaca- baca buku musik. Selama di Makassar inilah Wage mendapat pelajaran musik dari kakak iparnya Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Sehingga ketika tinggal di Jakarta suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Wage tertantang, kemudian mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya.
WR Supratman Sebagai Wartawan
Beberapa waktu lamanya wage bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Ujung Pandang, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan. Pekerjaan itu tetap dilakukan pada waktu ia pindah ke Jakarta. Wage ketika itu baru berusia 25 tahun bekerja sebagai wartawan surat kabar Sin Po, sebuah surat kabar yang diterbitkan kalangan Tionghoa di Jakarta dan menaruh simpati terhadap kaum pergerakan. Di surat kabar ini wage bekerja sebagai wartawan lepas yang dibayar berdasarkan jumlah berita atau tulisan yang dimuat. Hal ini dilakukan karena sejak beberapa tahun di kota Bandung, wage setelah susah payah mencari pekerjaan mengalami kegagalan. Dengan gaji yang pas- pasan akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan di Sin Po. Dalam kedudukannya sebagai wartawan itulah wage bisa berkenalan dengan tokoh- tokoh pergerakan, mewawancarai, berdiskusi dan menganalisis situasi pergerakan. Kongres pemuda yang diselenggarakan baik pertama maupun kedua tidak lepas dari perhatian dan liputannya. Ketika itu pemerintah hindia Belanda semakin ketat melakukan pengawasan dan penindasan terhadap gerak- gerik kaum pergerakan. Apalagi pada tahun 1926 dan 1927 baru saja meletus pemberontakan dan kerusuhan di berbagai tempat. Sekalipun dalam kondisi yang pas- pasan, namun wage yang dekat dengan kaum pergerakan tidak tinggal diam melihat ulah pihak Belanda yang melakukan penindasan. Untuk itu wage tidak segan- segan melakukan kecaman terhadap tindakan polisi penguasa, bahkan terhadap polisi Belanda yang melakukan penamparan pada seorang sais dokar, wage dengan tajam menurunkan berita kontrol dan mengkritik habis- habisan. Wage melalui tulisannya minta agar polisi Belanda tersebut ditindak oleh atasannya. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku “Perawan Desa”. Namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda. Supratman kemudian dipindahkan ke kota Singkang. Disitu tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi.
Dari Lagu ke Lagu
“Indonesia Raya”
Lagu “Indonesia” diciptakan wage untuk memenuhi tantangan zaman, karena ditengah maraknya kebangkitan nasionalisme sangat diperlukan adanya lagu perjuangan yang mampu membangkitkan semangat rakyat. Bahkan Soekarno tokoh PNI pada waktu itu, dalam pidatonya menyebutkan perlunya lagu kebangsaan. Kalimat yang berbunyi “Airnya yang kau minum, nasinya yang kau makan, hawanya yang kau hirup. Karena itu, kita semua harus mengabdi kepadanya, kepada ibu pertiwi. Kepada ibu Indonesia!”. Kalimat- kalimat itulah yang sangat mempengaruhi wage. Bahkan menurut suatu sumber, Bung Karno secara pribadi pernah menghubunginya dan menyatakan perlunya suatu lagu kebangsaan untuk pergerakan nasional. Atas dorongan itulah akhirnya wage seorang jurnalis yang serba kekurangan di bilik yang sempit di gang Kenari, Jakarta yang disewanya, hanya dengan penerangan lampu minyak, mencurahkan daya ciptaannya melahirkan sebuah lagu ditengah malam sepi, yang akhirnya diberi judul “Indonesia”.
Dalam kongres II wage meminta izin untuk memperdengarkan lagu ciptaanya berjudul “Indonesia”. Karena dalam kongres tersebut telah terjadi dua kali insiden dan polisi Belanda mengancam akan mengambil tindakan, gara- gara ada peserta yang menggunakan kata- kata “kemerdekaan”. Maka Sugondo sebagai pimpinan sidang hanya mengizinkan wage memperdengarkan lagunya saja, dan tidak dinyanyikan syairnya, karena Sugondo dalam teks banyak melihat syair yang menyebutkan nama Indonesia, padahal kongres berjalan dengan pengawasan ketat dan dihadiri seorang komisaris polisi Belanda. Suasana hening ketika Sugondo minta perhatian sidang, untuk mendengarkan lagu yang dimainkan dengan biola oleh wage. Itulah lagu “Indonesia” yang kemudian hari dikenal sebagai “Indonesia Raya”. Kongres II itulah yang kemudian melahirkan sumpah imemperdengarkan lagu tersebut untuk pertama kalinya dengan biolanya, hadirin peserta kongres pemuda tertegun dan tepuk tanganpun terdengar disertai seruan- seruan: Bis!, Bis!, Bis!, yang artinya hadirin minta lagu tersebut untuk diulangi. Diluar acara kongres, Sugondo Joyopupito ketua persidangan memberi tahu, bahwa seorang gadis kecil berusia 15 tahun, Dolly anak perempuan Agus Salim yang pada waktu itu menjadi anggota Nationale Islamitische Padvinderej (Natipy) akan menyanyikan lagu ciptaan wage tersebut. Dengan berpakaian pandu (pramuka), gadis kecil itupun ke mimbar dan naik diatas kursi agar dapat terlihat dari belakang, setelah mengambil suara di luar kepala dengan suara lantang tanpa iringan musik menyanyikan lagu “Indonesia”. Hadirin menjadi sangat terpesona dan tergugah rasa kebangsaannya tatkala Doly sampai pada syair yang berbunyi “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka? Tanahku negeriku yang kucinta Indones, Indones, Merdeka, Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya. Sejak saat itulah lagu “Indonesia” menjadi terkenal dan dihafalkan dan dinyanyikan oleh kaum pergerakan serta murid – murid sekolah di luar sekolah Gubernemen.
Sementara ini harian Sin Po tempat wage bekerja, melihat antusias para pemuda dan kaum pergerakan terhadap lagu tersebut telah mempublikasikannya dalam penerbitan sehingga itupun menjadi tersiar lebih luas. Bahkan karena besarnya perhatian masyarakat, sin Po memperbanyak jumlah cetakannya.
“Dari Barat Sampai Timur”
Sebagai seorang jurnalis nasionalis yang berbakat musik, menyambut pergerakan keras yang meletus tahun 1926, diciptakan sebuah lagu mars berjudul “dari barat sampai timur”. Inilah lagu pertama ciptaan wage yang kemudian hari sangat populer dan banyak dinyanyikan pasukan kita tatkala maju ke medan perang. Lagu ini menurut beberapa orang mirip dengan lagu kebangsaan Perancis “La Marseillaise”.
“Matahari Terbit”
Dalam keadaan melarat serba kekurangan dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, wage menjadi sosok yang diawasi ketat oleh PID, karena pada waktu itu pemerintahan Belanda berusaha keras memadamkan api perjuangan yang sudah dikobarkan di kalangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu kaum pergerakan diawasi dan dikejar – kejar dan ditekan. Wage ditangkap dan dibawa ke “Hopbiro” atau kantor polisi, diangkut dengan naik sepeda motor bersayap, karena lagunya dicurigai berkaitan dengan jepang, satu kekuatan negara asia menentang kejayaan barat waktu itu. Karena lambang Dai Nippon adalah matahari terbit, sedangkan lagu matahari terbit adalah judul ciptaan seorang seniman yang isinya menggugah segenap bangsa Indonesia untuk segera bangun dari tidurnya, bangkit untuk melihat kemulyaan tanah air.
“matahari sudah terbit putera ibu lekas bangun!Lihat cahaya yang mulia, lekas bangun, lekas bangun.
Hai puteraku yang berbudi, putera ibu yang sejati, mari lihat cahaya mulya Indonesia tanah airku”.
Di dalam sebuah bilik kecil di sebuah rumah gang mangga di kawasan Tambaksari, Surabaya sesosok tubuh laki- laki kerempeng tergolek dalam keadaan sakit parah. Melihat wajahnya yang pucat itu, laki- laki tersebut tergolong masih muda, ia baru saja keluar dari tahanan PID (Polisi Pengawas Keamanan) pemerintah Belanda gara- gara sebuah lagu ciptaanya “matahari Sudah Terbit” yang disiarkan lewat sebuah stasiun radio swasta dalam acara “padvinderstuur” atau jam pramuka.
WR Supratman
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda hingga jatuh sakit di Surabaya.karena lagu ciptaannya yang terakhir “Matahari Terbit” pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu- pandu di NIROM jalan Embong Malang- Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok- Surabaya. Ia meninggal 17 Agustus 1938 pada umur 35 Tahun.
Sumber Wikepedia dengan perubahan.
Minggu, 13 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar