Kerajaan Medang i Bhumi Mataram ketika diperintah oleh Raja Dyah Balitung Rakai Watukura kekuasaannya mencakup wilayah yang sangat luas. Meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur hingga ke pulau Bali. Dan kerajaan tersebut dikenal juga dengan nama “Galuh”. Kehidupan kerajaan Mataram pada masa itu belum banyak terungkap. Namun dari beberapa relief yang ditemukan di candi- candi di Jawa Tengah banyak yang mencerminkan kebesaran kerajaan tersebut seperti: Borobudur dan Prambanan. Dalam sejarah Mataram Kuno, telah ada hubungan diplomatik dengan luar negeri seperti yang terungkap dalam kronik dan catatan Tiongkok.
Dalam sejarah Rajakula Tang (Hsin tang Shu) tahun 618-906 M, dan sejarah Rajakula Sung tahun 906-1279 M diperoleh keterangan tentang keadaan di Jawa Tengah pada waktu itu. Di dalam Hsin Tsing shu disebutkan bahwa raja tinggal di Cho’Po tetapi moyangnya yang bernama “ki- yen” berpindah ke timur ke Pu- Lu- Kia –Seu. Di sekitarnya ada 28 kerajaan kecil yang tunduk. Ada 32 pejabat tinggi yang salah satunya Ta Tso Kanhiung. Dalam catatan dinasti Sung disebutkan tiga putera raja menjadi pembantu- pembantu raja. Mereka bersama- sama mengurus soal pemerintahan bersama empat pejabat kerajaan yang bergelar Rakyan. Mereka mempunyai penghasilan tetap, dan sesekali mereka juga memperoleh hasil bumi. Disamping itu juga ada 300 pejabat sipil yang dianggap sejajar dengan “siu- tsai” di Tiongkok. Mereka bertugas mencatat penghasilan kerajaan, mereka juga mempunyai kira- kira 1000 pegawai rendahan yang bertugas mengurus benteng dan parit kota, dan lumbung- lumbung kerajaan. Para prajurit, panglima perang masing-masing mendapat 10 tail emas tiap setengah tahun. Dan ada 30.000 prajurit yang dibayar setengah tahun sekali sesuai dengan pangkat masing- masing.
Dyah Balitung Rakai Watukura berkuasa antara 899-910 masehi. Menurut profesor Purbacaraka Dyah Balitung adalah seorang pangeran yang berasal dari Kedu selatan (Bagelen), sebab nama Watukura dijadikan gelar pelungguhannya dan tempat tersebut merupakan nama sungai yang ada di tanah Bagelen. Bahkan sampai sekarang ada desa yang bernama Watukura yang terdapat di kecamatan Purwodadi. Dari 38 prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Dyah Balitung diketahui bahwa beliau mempunyai 4 gelar yaitu :
1. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu
2. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawasamarattungga
3. Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Iswarakesawotsawatungga
4. Janardanottungga Dyah Balitung
Dalam prasasti “ Watu Kuro” disebutkan adanya tempat mekdis penjenazahan di Watukura. Dyah Balitung naik tahta karena perkawinan, hal ini bisa dilhat dari gelar rakai yang dipakai seperti yang dikatakan dalam prasasti Mantyasih, sebab pada waktu menikah ia masih bergelar “haji” atau raja bawahan. Berdasarkan prasasti yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung, sistem perekonomian telah tertata baik. Bahkan dalam prasasti Ayam Teas yang menyebutkan Dyah Balitung sebagai Sri Maharaja dan bertiti masa 822 saka atau tahun 900 M, disebutkan desa Ayam Teas yang dijadikan sebagai tanah perdikan sebagai tempat pedagang. Tempat tersebut tidak diperbolehkan dilewati oleh para petugas pajak. Dan hanya 3 pejabat dari setiap daerah bebas yang diperbolehkan membawa secara bebas 20 ekor kerbau, 40 ekor sapi, 80 ekor kambing dan telur satu kandang dalam kendaraan. Dengan demikian jelaslah bahwa pada masa kekuasaan Dyah Balitung selain pertanian dengan sistem irigasi, tata niaga, peternakan, kerajinan dan perpajakan juga sudah berjalan secara teratur.
Dalam prasasti Panunggalan (818 saka) disebutkan haji Rakai Watuhumahang memberi anugerah kepada Dapunta di Kabikuan Panunggalan atas hak perdikan tanah daerah mereka. Jika benar Dyah Balitung itu anak Watuhumahang, maka kesimpulannya dia merupakan anak seorang haji bukan anak Sri Maharaja. Menurut Purbacaraka kata “dharma” (dharmmadaya mahasambhu) ditafsirkan merupakan gelar dengan kata tersebut adalah raja yang naik tahta karena perkawinan. Dalam prasasti Kubu-kubu (827 saka) tentang peresmian kubu-kubu menjadi sima, diuraikan pimpinan upacara wedhati dan makudur antara lain membanting telur dan memanggal leher ayam. Penutupannya memberi keterangan tentang Raja Dyah Balitung yang kembali ke keraton. Dalam tahun 899 Dyah balitung sudah memakai Abhiseka Sri Dharmmodaya Mahasambhu, sedangkan perkawinannya disebutkan pada prasasti 907, maka tidak mungkin perkawinan itulah yang menyebabkan dirinya menggunakan gelar. Gelar tersebut menagndung arti “ yang kebajikannya selalu meningkat dan yang maha pemurah” sehingga mungkin gelar itu dipakai karena Dyah Balitung yang berhasil membawa keluarga raja yang dipimpinnya ke puncak kekuasaan. Dyah Balitung semakin meluaskan kekuasaan sehingga kemudian bergelar Sri Iswarakesawotsawatungga atau Sri Iswarakesawasamarattungga yang artinya yang terkemuka dalam peperangan yaitu siwa dan wisnu. Pada akhir kekuasaannya dia bergelar “Garuda Muka” seperti yang disebutkan dalam prasasti Tulanan (832 saka). Mungkin saja gelar itu berkaitan dengan wisnu yang dianggap sebagai tokoh pembebas. Dalam masa kekuaasaan Dyah Balitung selain dewa-dewi siwais, menurut prasasti kedu (907 M) disebut tentang penghormatan terhadap dewa. Disebutkan bahwa dewa yang berakhiran dengan kara “ swara” seperti Pouteswara, Malangkuseswara dan Silabheseswara. Sedangkan tanah palungguhannya tempat yang bercampur dengan monumen megalitikh.
Minggu, 22 November 2009
Prasasti Canggal
Berdasarkan prasasti canggal yang ditemukan di daerah Sleman disebutkan bahwa nama sebuah pulau “Yawadwipa” kaya akan padi-padian dan jewawut serta tambang emas. Mula- mula diperintah oleh seorang raja bernama Sanna, namun setelah baginda mangkat kedudukannya digantikan oleh keponakannya bernama Sri Sanjaya, putera Sannaha saudara perempuan raja Sanna. Menurut penulis sejarah Ratu Sanjaya menakhlukkan atau mendirikan kerajaan di wilayah Bagelen. Satu abad kemudian keratonnya dipindahkan ke wilayah Wonosobo, yaitu suatu wilayah yang sangat subur dan strategis. Sanjaya adalah keturunan dari raka- raka yang bergelar syailendra. Arti syailendra adalah Syaila: batu, gunung dan indra : raja. Jadi syailendra adalah raja gunung atau tuan yang datang dari gunung. Mungkin juga tuan yang turun dari khayangan, karena menurut kepercayaan gunung merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang dan para dewata. Raja Sanjaya adalah seorang ahli kitab suci dan keprajuritan dan selama masa kekuasaannya berhasil menakhlukkan kerajaan- kerajaan di sekitarnya. Bahkan dalam “kitab Parahiyangan” yang berasal dari Jawa Barat disebutkan daerah kekuasaannya hingga Bali, Kerajaan Melayu, Kemir (kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, sedangkan negeri Tiongkok diperanginya.
Raja Sri Sanjaya dinilai sebagai raja besar yang sangat dihormati, karena terkenal kesohorannya di India. Bahkan hubungan kenegaraannya hingga sampai ke Afrika - Iran – Tiongkok, karena angkatan lautnya maupun angkatan daratnya kuat dan besar. Menurut kitab sejarah dinasti Tang Kuno (618-906), di pulau jawa terkenal sebuah kerajaan bernama “Ho-Ling” yang terletak di sebuah pulau di laut selatan. Kotanya dikelilingi pagar kayu, rajanya berdiam di istana tingkat, beratap daun-daun palma. Raja duduk diatas singgasana dari gading. Penduduknya pandai menulis dan mengenal ilmu falak. Kalau makan duduk dan menggunankan tangan tanpa alat apapun, minuman kerasnya tuak. Di pegunungan ada daerah bernama “ Lang- pi –ya” tempat raja selalu pergi untuk melihat laut. Diungkapkan pula bahwa tahun 640 M kerajaan jawa mengirimkan utusan ke Tiongkok, demikian juga pada tahun 6576 M. Dalam menafsir berita yang ditulis dari dinasti Tang tentang kerajaan “Ho-Ling” disebutkan raja hidup dalam kota Cho- p’o yang dikelilingi 28 kerajaan-kerajaan kecil yang semuanya mengakui kewibawaannya. Menurut kronik tersebut raja dibantu 32 orang pegawai tinggi. Wilayah kerajaan Sanjaya tersebut berbentuk segitiga tempat yang sekarang dikenal dengan nama “Ledok” merupakan pojok paling utara dari Bagelen. Bassisnya pantai selatan, puncaknya gunung Prahu (dieng) dan sungai utamanya Bagawanta.
Gagasan Van der Meulen SJ tentang Bagelen yang disamakan dengan Holing dalam kronik Tiongkok secara historical geography dipandang cukup logis oleh N. Daljoeni. Holing menurut Van der Meulen sebenarnya Halin singkatan dari “Bhagahalin” (Bagelen), yaitu kerajaan yang berlokasi di lembah sungai Bagawanta. Bagelen tersebut sama dengan Pagelen yang disebut dalam babad tanah jawi, kerajaan yang semula diperintah oleh raja Kanuhun. Menurut Dr. N Daljoeni apa yang dilakukan WJ Van der Meulen dengan menggali isi kitab ceritera Parahiyangan dan babad Tanah Jawi, merupakan sumbangan yang telah membuka sejarah yang gelap abad 5 sampai 7 di jawa tengah. Sedangkan dari hasil penelitian arkkeologi dikabupaten Pekalongan, Batang dan Kendal memberi suatu gambaran baru tentang kemungkinan daerah - daerah penting dan perkiraan pusat Kerajaan Mataram Kuno di tiga daerah kabupaten tersebut, kearah selatan semakin banyak ditemukan data arkeologi baru termasuk prasasti Sojomerto sampai disebelah utara yakni temuan- temuan di pegunungan dieng.
Raja Sri Sanjaya dinilai sebagai raja besar yang sangat dihormati, karena terkenal kesohorannya di India. Bahkan hubungan kenegaraannya hingga sampai ke Afrika - Iran – Tiongkok, karena angkatan lautnya maupun angkatan daratnya kuat dan besar. Menurut kitab sejarah dinasti Tang Kuno (618-906), di pulau jawa terkenal sebuah kerajaan bernama “Ho-Ling” yang terletak di sebuah pulau di laut selatan. Kotanya dikelilingi pagar kayu, rajanya berdiam di istana tingkat, beratap daun-daun palma. Raja duduk diatas singgasana dari gading. Penduduknya pandai menulis dan mengenal ilmu falak. Kalau makan duduk dan menggunankan tangan tanpa alat apapun, minuman kerasnya tuak. Di pegunungan ada daerah bernama “ Lang- pi –ya” tempat raja selalu pergi untuk melihat laut. Diungkapkan pula bahwa tahun 640 M kerajaan jawa mengirimkan utusan ke Tiongkok, demikian juga pada tahun 6576 M. Dalam menafsir berita yang ditulis dari dinasti Tang tentang kerajaan “Ho-Ling” disebutkan raja hidup dalam kota Cho- p’o yang dikelilingi 28 kerajaan-kerajaan kecil yang semuanya mengakui kewibawaannya. Menurut kronik tersebut raja dibantu 32 orang pegawai tinggi. Wilayah kerajaan Sanjaya tersebut berbentuk segitiga tempat yang sekarang dikenal dengan nama “Ledok” merupakan pojok paling utara dari Bagelen. Bassisnya pantai selatan, puncaknya gunung Prahu (dieng) dan sungai utamanya Bagawanta.
Gagasan Van der Meulen SJ tentang Bagelen yang disamakan dengan Holing dalam kronik Tiongkok secara historical geography dipandang cukup logis oleh N. Daljoeni. Holing menurut Van der Meulen sebenarnya Halin singkatan dari “Bhagahalin” (Bagelen), yaitu kerajaan yang berlokasi di lembah sungai Bagawanta. Bagelen tersebut sama dengan Pagelen yang disebut dalam babad tanah jawi, kerajaan yang semula diperintah oleh raja Kanuhun. Menurut Dr. N Daljoeni apa yang dilakukan WJ Van der Meulen dengan menggali isi kitab ceritera Parahiyangan dan babad Tanah Jawi, merupakan sumbangan yang telah membuka sejarah yang gelap abad 5 sampai 7 di jawa tengah. Sedangkan dari hasil penelitian arkkeologi dikabupaten Pekalongan, Batang dan Kendal memberi suatu gambaran baru tentang kemungkinan daerah - daerah penting dan perkiraan pusat Kerajaan Mataram Kuno di tiga daerah kabupaten tersebut, kearah selatan semakin banyak ditemukan data arkeologi baru termasuk prasasti Sojomerto sampai disebelah utara yakni temuan- temuan di pegunungan dieng.
Legenda Masjid Loano
Menurut historiografi lokal disebutkan dalam pengembangan agama islam, sunan Kalijaga sampai di tanah Bagelen dan berhasil mendirikan pondok pesantren di dukuh Watu Belah yang sekarang masuk wilayah Trirejo kecamatan Loano. Di wilayah tersebut sunan Kalijaga mengajarkan agama islam sebagai agama baru. Demikian juga di desa Dlangu, yang sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Butuh. Di Dlangu sunan Kalijaga membuat tempat ibadah dan memberi nama desa tersebut senada dengan tempat kediamannya yakni Kadilangu. Yang jelas kehadiran sunan Kalijaga di tanah Bagelen mampu memulai islam yang diawali oleh muridnya sunan Geseng. Di kecamatan Loano kabupaten Purworejo, terdapat pula masjid yang konon dibangun pula oleh sunan Geseng. Masjid Loano ini dibangun dengan 16 umpak kayu dan di lengkapi dengan lempengan baja yang dibuat lengkung sedemikian rupa guna menahan guncangan apabila terjadi gempa bumi. Masjid ini sudah direnovasi menurut ketentuan arkheologi dengan cara mengembalikan ke wujud semula. Kamuncak dari bangunan utamanya semula dipindahkan ke masjid Banjaran Kulon, terbuat dari “terakota” telah dikembalikan sedangkan tiang- tiang kayunya sudah rapuh telah dilakukan upaya penyuntikan oleh dinas purbakala. Arti dari 16 tiang masjid hingga sekarang belum diketahui maknanya. Masjid arsitektur jawa ini telah terdiri dari dua bagian di depannya merupakan bangunan baru yang didirikan sekitar tahun 1825. Bagian utamanya menurut ceritera dibangun oleh sunan Geseng dan sekitar 100 meter dari lokasi masjid juga diceritakan merupakan lokasi tempat kediaman sunan Geseng.
Menurut sumber lain penyebaran agama islam di Jawa Tengah bagian selatan dan di sebelah timur sungai Lakulo dilakukan oleh sunan Geseng. Sedangkan dibagian barat dilakukan oleh Syekh Baribin seorang ulama dari Pucang Kembar, sedangkan pengislaman disebelah barat Banyumas dilakukan oleh bupati Banyak Belanak dan Syekh Makduwali atas perintah Sultan Demak. Namun pada masa kerajaan Demak masih pada awal perkembangannya tanah Bagelen sudah menjadi bagiannya. Menurut penduduk Bagelen tempat Ki Cakrajaya menunging, menelungkup di atas tanah dengan berpegang teguh pada carang bambu masih terdapat bekas-bekasnya. Sedangkan sebuah masjid di Kauman Begelen konon dibangun oleh sunan Geseng, oleh karena itu masjid tersebut dinamakan masjid sunan Geseng. Selain masjid di Kauman Bagelen sudah direnovasi tanpa mempedulikan nilai-nilai kearkheologian . Sedangkan desa Kadilagu yang terletak di sebelah timur muara sungai Bagawanta mungkin erat kaitannya dengan sunan Kalijaga. Belum jelas apakah pengislaman di tanah Bagelen hanya dua orang tersebut atau ada tokoh lain, sebab di Kaligesing diketahui tempat petilasan di kaki gunung Wangi yang konon ada hubungannya dengan Syekh Magribi.
Menurut sumber lain penyebaran agama islam di Jawa Tengah bagian selatan dan di sebelah timur sungai Lakulo dilakukan oleh sunan Geseng. Sedangkan dibagian barat dilakukan oleh Syekh Baribin seorang ulama dari Pucang Kembar, sedangkan pengislaman disebelah barat Banyumas dilakukan oleh bupati Banyak Belanak dan Syekh Makduwali atas perintah Sultan Demak. Namun pada masa kerajaan Demak masih pada awal perkembangannya tanah Bagelen sudah menjadi bagiannya. Menurut penduduk Bagelen tempat Ki Cakrajaya menunging, menelungkup di atas tanah dengan berpegang teguh pada carang bambu masih terdapat bekas-bekasnya. Sedangkan sebuah masjid di Kauman Begelen konon dibangun oleh sunan Geseng, oleh karena itu masjid tersebut dinamakan masjid sunan Geseng. Selain masjid di Kauman Bagelen sudah direnovasi tanpa mempedulikan nilai-nilai kearkheologian . Sedangkan desa Kadilagu yang terletak di sebelah timur muara sungai Bagawanta mungkin erat kaitannya dengan sunan Kalijaga. Belum jelas apakah pengislaman di tanah Bagelen hanya dua orang tersebut atau ada tokoh lain, sebab di Kaligesing diketahui tempat petilasan di kaki gunung Wangi yang konon ada hubungannya dengan Syekh Magribi.
Rabu, 18 November 2009
Prasasti Kayu Ara Hiwang Cikal Bakal Purworejo
Kayu Antan merupakan tempat di tepi sungai Bagawanta, tempat tersebut merupakan tanah “swatantra” atau perdikan. Prasasti Kayu Ara Hiwang ditemukan di bawah pohon sono tepi sungai Bagawanta wilayah Boro Wetan, yang sekarang masuk wilayah Boro Tengah kecamatan Banyuurip. Prasasti tersebut diresmikan oleh Dyah Mala (Sala) yang merupakan Rakai dari Wanua Poh yaitu putra dari sang Ratu Bajra (daksa) yang tinggal di Wanua Pariwutan. Sang Ratu Bajra dalam hirarki kekuasaan Maharaja Dyah Balitung Watukura adalah orang kedua setelah raja. Upacara penetapan sima terjadi pada tahun 823 saka atau 901 Masehi, tanggalnya 5 Oktober. Prasasti Kayu Ara Hiwang dalam seminar hari jadi kabupaten Purworejo tanggal 28 September 1993 dijadikan sebagai sumber primer menentukan hari jadi. Nama Sima diketahui dari Prasasti itu memuat peristiwa penting yakni: upacara pematokan sebagai sebuah sima atau tanah perdikan yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak bagi sima yang dipersembahkan untuk parahyangan. Prasasti itu dibuat pada tahun saka 823 pada bulan Asuji hari ke 5, bulan paro peteng, vurukung senin pahing (wuku) mrgasira, bersamaan dengan siva.
Radix Penadi mengungkapkan bahwa pada saat itu Raka dari Vanua Poh bernama Dyah Sala (Mala) putra sang Bajra yang tinggal di Parivutan menandai desa Kayu Ara Hiwang yang masuk wilayah Vatu Tihang menjadi tanah perdikan untuk dipersembahkan bagi “parahyangan” selain itu pangeran dari Parivutan mensucikan semua kejelekan. Dalam prasasti itu juga disebutkan Rakryan dari Watu Tihang Pu Sanggrama Surandhara, penduduk galak yang masuk wilayah Mahmili menerima pakaian ganja haji patra sisi satu set, perak satu kati dan prasada vohring sebanyak sata swana. Dalam prasasti tersebut juga disebutkan nama- nama pejabat antara lain: Rakryan Pu Rama dari Patimpuh. Pamagat Valdihati Pu Dangpit, penduduk Pasamuan yang masuk wilayah Valdihati. Tuhan dari Mukudur Sang Vangun Sugih Pu Maniksa, penduduk Medang di bawah Vadihati. Sang Maklambi Manusuk, Sang Tulumpuk Pu Naru penduduk Pupur di bawah Vadihati. Pangkat Panusung dari Makudur Sang Daluk Pu Tangak, ayah dari Lacita, kakek dari Muding penduduk Taji. Para pejabat tersebut menerima “pasek” berupa pakaian berwarna satu set emas dalam jumlah tertentu ada yang enam masa ada pula yang menerima dua belas masa. Pengangkat Panusung dari Tuhan, badan kesatuan para nayaka di bawah Vatu Tihang. Raka dari Vaskar tal, Pu Pudraka penduduk dari kasugihan di bawah Dagihan. Mangrupi tuhan dan badan kesatuan nayaka, Raka dari Pakambingan Pu Pandava, penduduk Lamyar di bawah Varu Ranu. Tuhan dari Lapuran, Raka dari Vatu Hyang dan Lampuran Pu Manu, penduduk dari Panggamulan. Di bawah Manungkyli, Parujar dari Sang Alas Galu. Pu Viryya, penduduk dari Paka-Lang-kyang di bawah pagar Vsi. Matanda dari Sang Dasagar, Pu Tuan penduduk dari Sru Ayun dibawah Hino. Tuhan dari Raka Dvaraga si Myat Hayu Parvvta, penduduk dari Summilak dibawah Vka. Tuhan dari Martandakan Samgat Gunung Tanayan Pu Basu penduduk dari Kalungan di bawah Vka juga menerima masing- masing satu set pakaian berwarna sejumlah masa emas.
Menurut Drs. MM Sukarto K. Atmodjo, penetapan menjadi sima tersebut meliputi: gua, katika, gaga dan semua dipersembahkan kepada parahyangan di Parivutan. Dari nama- nama tempat watu tihang, diidentifikasikan sebagai Salatiang di kecamatan Loano karena dekat dengan tempat tersebut banyak ditemukan batu- batu tegak seperti tiang Batu (Sela Tihang), Mantyasih (Meteseh- Magelang), Taji(daerah Prambanan), dan Kalungan (Kalongan - Loano).yang cukup menarik sima Kayu Ara Hiwang dipersembahkan untuk parahyangan yang masuk dalam wilayah Pariwutan tempat sang Ratu Bajra tinggal. Dalam pengertian lain parahyangan tersebut menjadi tanggungjawab Sang Ratu Bajra. Seorag penulis menfasir sang Ratu Bajra adalah Daksa, orang kedua dalam hirarki pemerintahan Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura. Selain berkedudukan sebagai Mahapatih i Hino, ternyata disebut juga sebagai sang ratu, yang kedudukannya setingkat raja. Dengan demikian yang dinamakan “parahyangan” tersebut bisa dipastikan merupakan tempat yang sangat penting sebagai tempat para dewata atau dewa atau nenek moyang bertempat tinggal. Dan dalam kepercayaan jawa maupun tradisi nenek moyang raja- raja Mataram yakni Syailendra. Yang berarti Syaila= batu atau gunung dan Indra = raja. Syailendra artinya Raja gunung atau tuan yang datang dari gunung. Mungkin juga tuan yang turun dari kahyangan, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang dan para dewata. Dan satu-satunya tempat yang sesuai. Menurut Thoyib Djumadi bahwa yang disebut “Parahyangan” dalam prasasti Batu Kayu Ara Hiwang adalah Seplawan. dan patut disebut “parahyangan” tidak lain adalah Seplawan yang terletak dipegunungan Menoreh yang letaknya relatif dekat dengan Kayu Ara Hiwang. Dari uraian tersebut terungkap bahwa dari tanah lungguh Maharaja Dyah Balitung Watukura yang meliputi aliran sungai Bagawanta atau sungai Watukura merupakan wilayah Galuh yang merupakan asal muasal nama Bagelen.
Radix Penadi mengungkapkan bahwa pada saat itu Raka dari Vanua Poh bernama Dyah Sala (Mala) putra sang Bajra yang tinggal di Parivutan menandai desa Kayu Ara Hiwang yang masuk wilayah Vatu Tihang menjadi tanah perdikan untuk dipersembahkan bagi “parahyangan” selain itu pangeran dari Parivutan mensucikan semua kejelekan. Dalam prasasti itu juga disebutkan Rakryan dari Watu Tihang Pu Sanggrama Surandhara, penduduk galak yang masuk wilayah Mahmili menerima pakaian ganja haji patra sisi satu set, perak satu kati dan prasada vohring sebanyak sata swana. Dalam prasasti tersebut juga disebutkan nama- nama pejabat antara lain: Rakryan Pu Rama dari Patimpuh. Pamagat Valdihati Pu Dangpit, penduduk Pasamuan yang masuk wilayah Valdihati. Tuhan dari Mukudur Sang Vangun Sugih Pu Maniksa, penduduk Medang di bawah Vadihati. Sang Maklambi Manusuk, Sang Tulumpuk Pu Naru penduduk Pupur di bawah Vadihati. Pangkat Panusung dari Makudur Sang Daluk Pu Tangak, ayah dari Lacita, kakek dari Muding penduduk Taji. Para pejabat tersebut menerima “pasek” berupa pakaian berwarna satu set emas dalam jumlah tertentu ada yang enam masa ada pula yang menerima dua belas masa. Pengangkat Panusung dari Tuhan, badan kesatuan para nayaka di bawah Vatu Tihang. Raka dari Vaskar tal, Pu Pudraka penduduk dari kasugihan di bawah Dagihan. Mangrupi tuhan dan badan kesatuan nayaka, Raka dari Pakambingan Pu Pandava, penduduk Lamyar di bawah Varu Ranu. Tuhan dari Lapuran, Raka dari Vatu Hyang dan Lampuran Pu Manu, penduduk dari Panggamulan. Di bawah Manungkyli, Parujar dari Sang Alas Galu. Pu Viryya, penduduk dari Paka-Lang-kyang di bawah pagar Vsi. Matanda dari Sang Dasagar, Pu Tuan penduduk dari Sru Ayun dibawah Hino. Tuhan dari Raka Dvaraga si Myat Hayu Parvvta, penduduk dari Summilak dibawah Vka. Tuhan dari Martandakan Samgat Gunung Tanayan Pu Basu penduduk dari Kalungan di bawah Vka juga menerima masing- masing satu set pakaian berwarna sejumlah masa emas.
Menurut Drs. MM Sukarto K. Atmodjo, penetapan menjadi sima tersebut meliputi: gua, katika, gaga dan semua dipersembahkan kepada parahyangan di Parivutan. Dari nama- nama tempat watu tihang, diidentifikasikan sebagai Salatiang di kecamatan Loano karena dekat dengan tempat tersebut banyak ditemukan batu- batu tegak seperti tiang Batu (Sela Tihang), Mantyasih (Meteseh- Magelang), Taji(daerah Prambanan), dan Kalungan (Kalongan - Loano).yang cukup menarik sima Kayu Ara Hiwang dipersembahkan untuk parahyangan yang masuk dalam wilayah Pariwutan tempat sang Ratu Bajra tinggal. Dalam pengertian lain parahyangan tersebut menjadi tanggungjawab Sang Ratu Bajra. Seorag penulis menfasir sang Ratu Bajra adalah Daksa, orang kedua dalam hirarki pemerintahan Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura. Selain berkedudukan sebagai Mahapatih i Hino, ternyata disebut juga sebagai sang ratu, yang kedudukannya setingkat raja. Dengan demikian yang dinamakan “parahyangan” tersebut bisa dipastikan merupakan tempat yang sangat penting sebagai tempat para dewata atau dewa atau nenek moyang bertempat tinggal. Dan dalam kepercayaan jawa maupun tradisi nenek moyang raja- raja Mataram yakni Syailendra. Yang berarti Syaila= batu atau gunung dan Indra = raja. Syailendra artinya Raja gunung atau tuan yang datang dari gunung. Mungkin juga tuan yang turun dari kahyangan, karena gunung menurut kepercayaan merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang dan para dewata. Dan satu-satunya tempat yang sesuai. Menurut Thoyib Djumadi bahwa yang disebut “Parahyangan” dalam prasasti Batu Kayu Ara Hiwang adalah Seplawan. dan patut disebut “parahyangan” tidak lain adalah Seplawan yang terletak dipegunungan Menoreh yang letaknya relatif dekat dengan Kayu Ara Hiwang. Dari uraian tersebut terungkap bahwa dari tanah lungguh Maharaja Dyah Balitung Watukura yang meliputi aliran sungai Bagawanta atau sungai Watukura merupakan wilayah Galuh yang merupakan asal muasal nama Bagelen.
Kisah Jaka Bedug
Menurut babad Tjakradjaja yang merupakan petikan dari serat suluk Tjablaka kutipan dari buku suluk Tjablaka menyebutkan bahwa Ki Cakrajaya mempunyai dua anak laki- laki yaitu Djaka Bumi dan Djaka Bedug. Diceritakan bahwa pada suatu malam Ki Cakrajaya melihat bintang berekor dari selatan menuju utara. Akhirnya bintang tersebut diikuti dan sekitar pukul 05.00 bintang tersebut jatuh di hutan Lowano. Kemudian Ki Cakrajaya pindah ke Lowano dan rumah yang di Bedug diserahkan kepada kedua anaknya. Sedangkan menurut sumber lain mengatakan bahwa Ki Bumi merupakan anak laki-laki Jaka Bedug.
Suatu saat ketika sunan Geseng mengail ikan dan mengetahui anaknya mengitip tanpa menengok ke belakang dia mengatakan bahawa anaknya seperti kera, mengintai orang sambil memanjat. Seketika wajahya berubah menjadi kera, dan dengan perasaan menyesal sunan Geseng memberi wejangan kepadanya, yang diberi nama “nilasraba”. Berkat laku tapa dan doa yang selalu dipanjatnya akhirnya setelah dewasa jaka Bedug memiliki kedudukan tinggi . Dalam naskah Bappeda disebutkan bahwa dia diangkat sebagai Adipati Bagelen yang berkedudukan di Krendetan dengan Gelar Adipati Nilasraba I. Menurut pinisepuh peristiwa ini terjadi pada masa kerajaan Demak.
Adipati Arya Nilasraba I mempunyai putra Ki Bumi dan Ki Mentosoro. Setelah wafat dimakamkan di Sidompyong desa Krendetan. Ki Bumi akhirnya menggantikan ayahnya dan bergelar Adipati Arya Nilasabra II atau Ki Karta Menggala. Menurut babad Tjakradjaja Jaka Bedug diwisuda menjadi bupati Bedung dengan nama Tumenggung Nilasraba dan “suwita” atau mengabdi kepada Mataram.
Suatu saat ketika sunan Geseng mengail ikan dan mengetahui anaknya mengitip tanpa menengok ke belakang dia mengatakan bahawa anaknya seperti kera, mengintai orang sambil memanjat. Seketika wajahya berubah menjadi kera, dan dengan perasaan menyesal sunan Geseng memberi wejangan kepadanya, yang diberi nama “nilasraba”. Berkat laku tapa dan doa yang selalu dipanjatnya akhirnya setelah dewasa jaka Bedug memiliki kedudukan tinggi . Dalam naskah Bappeda disebutkan bahwa dia diangkat sebagai Adipati Bagelen yang berkedudukan di Krendetan dengan Gelar Adipati Nilasraba I. Menurut pinisepuh peristiwa ini terjadi pada masa kerajaan Demak.
Adipati Arya Nilasraba I mempunyai putra Ki Bumi dan Ki Mentosoro. Setelah wafat dimakamkan di Sidompyong desa Krendetan. Ki Bumi akhirnya menggantikan ayahnya dan bergelar Adipati Arya Nilasabra II atau Ki Karta Menggala. Menurut babad Tjakradjaja Jaka Bedug diwisuda menjadi bupati Bedung dengan nama Tumenggung Nilasraba dan “suwita” atau mengabdi kepada Mataram.
Selasa, 17 November 2009
"Tari Dolalak” Kesenian Khas Purworejo
Kabupaten Purworejo memiliki salah satu tari kerakyatan yang menjadi ciri khas yaitu tari dolalak. Awal mula kehadirannya tidak diketahui secara pasti namun ada pada zaman penjajahan Belanda. Tari dolalak tercipta karena terinspirasi oleh perilaku serdadu Belanda pada saat beristirahat di camp-camp. Serdadu- serdadu tersebut beristirahat sambil minum-minuman keras, ada juga yang menyanyi dan berdansa ria. Aktifitas sehari-hari para serdadu di kamp ditiru oleh para pengikutnya yang kebanyakan pribumi, oleh sebab itu terciptalah tari dolalak yang bentuknya sederhana dan berulang-ulang. Tari dolalak ditarikan oleh para remaja putri yang berpakaian mirip serdadu Belanda,dan puncaknya digambarkan saat penari mendem atau kerasukan setan. Pengiring yang digunakan berupa: kendang, rebana dan bedug, sedangkan syair-syairnya tentang keagamaan, pendidikan dan juga berbagai kritik dan sindiran. Tari ini dapat ditarikan bersama penonton sehingga bisa disebut sebagai tari pergaulan. Tari dolalak mempunyai berbagai ragam sesuai dengan daerah asalnya misalnya; gaya Kaligesingan, Mlaranan, Sejiwanan, dan Banyuuripan.
Tari dolalak berasal dari kata “do” dan “la-la” yang dimaksud not balok dari do,re,mi,fa,sol,la,si,do, yang diambil dari pendengaran penduduk pribumi yang berubah menjadi lidah jawa dolalak, sekitar tahun 1940. Tari ini oleh rakyat Indonesia diciptakan sebagai misi keagamaan dan politik untuk memerangi Belanda. Tari ini dipentaskan pada saat-saat tertentu, diantaranya; mantu,sunatan dan syukuran. Biasanya warga mengundang group tertentu yang disebut nanggap dalam bahasa jawa, tari ini ditarikan menjelang hajatan yaitu pada malam hari semalam suntuk. Dalam perkembangan selanjutnya kabupaten Purworejo memperhatikan perkembangannya kemudian mengangkat kesenian ini lewat penataran dan seminar tentang tari dolalak. Bahkan dolalak dijadikan muatan lokal dalam pendidikan dasar. Perhatian pemerintah juga tampak dengan memberikan alat dan kostum. Sehingga kini dolalak sudah terkenal sampai di TMII yang pernah pentas di anjungan Jawa Tengah. Seiring berjalannya waktu kemudian dolalak menjadi aset mata pencaharian tambahan bagi penari dan pengiring group tersebut. Sebab pada musim pernikahan banyak menampilkan tari dolalak untuk meramaikannya.
Sebagai seni pertunjukan, dolalak mengandung 4 unsur seni yaitu; seni gerak (tari), seni rupa (busana dan aksesoris), seni suara (musik) dan seni sastra (syair lagu) yaitu:
1. Gerak: gerak tari dolalak merupakan gerak keprajuritan didominasi oleh gerak yang rampak dan dinamis nyaris seperti gerakan bela diri pencak silat yang diperhalus. Gerakan “kirig” (gerakan bahu yang cepat pada saat-saat tertentu) merupakan ciri khas dolalak yang tidak didapati pada tarian lain. Penelitian Prihartini membagi tari dolalak menjadi tiga bagian yaitu: tari kelompok, tari pasangan, dan tari tunggal. Tari tunggal biasanya diikuti dengan “trance” atau kesurupan sehingga penari bisa menari hingga berjam-jam. Pada perkembangannya tari dolalak dimodivikasi sehingga bisa ditarikan hanya 15 menit.
Dalam tari terdapat berbagai macam istilah diantaranya gerak kaki (adeg, tanjak, hoyog,sered,mancat,gejug,jinjit,ngentrik,ngetol,engklel,sing,ngetol,pencik,kesutan,sampok,jengkeng dan sepak). Gerak tangan (ngruji,taweng,ngregem,malangkerik,ukel,ukel wolak-walik,tepis,jentus,keplok,enthang,siak,kesutan grodha,miwir sampur,ngithir sampur,bapangan wolak-walik,atur-atur,cathok,mbandhul,cakilan dan tangkisan). Gerak tubuh/ badan (ogek,entrag dan geblag). Gerak leher(tolehan,lilingan dan coklekan) gerak bahu (kirig dan kedher).
2. Busana: kostum tradisional dolalak menggunakan baju lengan panjang hitam dan celana pendek hitam dengan pelisir “untu walang” pada tepinya. Serta aksesorius kuning keemasan pada bagian dada dan punggung ditambah topi pet hitam dengan hiasan dan kaos kaki panjang, namun saat ini dimodivikasi pada celana pendek yang dahulu diatas lutut menjadi di bawah lutut. Bahkan ada juga yang dimodivikasi dengan gaya muslim dengan berkerudung namun aksesorisnya tetap sama. Memakai sampur pendek yang diikat di sebelah kanan saja.
3. Musik : semula hanya acapela, namun dalam perkembangannya diiringi dengan lagu dan tembang seerta iringan solawat jawa dan dilengkapi juga dengan bedug, kendang, terbang, kecer dan organ. Musiknya beragam dari vocal “bawa” sebagai lagu pembuka hingga lagu parikan atau pantun yang menggunakan bahasa melayu lama dan sebagian bahasa jawa bahkan bahasa arab. Bahkan sekarang masuk juga lagu jenis pop, dangdut dan campursari.
4. Syair lagu: bertema tentang agama sindiran sosial, kegembiraan dan nasehat kehidupan ada juga yang bernuansa romantis yang dinyatakan dengan pantun atau parikan.
Dansa (tari gaul gaya barat ) dengan iringan lagu membangkitkan inspirasi beberapa warga pribumi untuk menirunya menjadi tari dolalak. Menurut penelitian Prihatini (2000) nama mereka adalah Rejotaruno, Duliyat dan Ronodimejo untuk menirunya. Dari hasil survey jurisan sejarah FKIP IKIP Semarang (1971) mencatat bahwa akar kesenian dolalak tumbuh pada masa perang Aceh (1873-1904). Untuk menghibur diri pasukan Belanda yang ditugaskan di Aceh membuat tari keprajuritan , dengan barisan dan cakepan atau nyanyian yang berbentuk “pernesan” atau sindiran serta dengan pakaian ala Belanda dan Perancis. Ketika Purworejo menjadi basis militer Belanda kesenian itu juga makin berkembang luas. Menurut salah satu sumber di internet (javapromo.com, 2007) yang dikemukakan oleh Tijab pimpinan group dolalak dusun Giri Tengah Borobudur mengatakan bahwa dolalak berasal dari kata “Duh allah” dan lahirnya seni dolalak karena adanya kisah pasukan Srikandi yang membantu Nyai Ageng Serang pada saat perang Diponegoro. Pasukan wanita tersebut berada di bawah pimpinan Ambarsari dan Roro Ayu Tunggalsari.
Pada awal kehadirannya sampai tahun 1970 dolalak merupakan kesenian rakyat yang berfungsi sebagai penghibur pada kegiatan hajatan masyarakat desa. Pada dekade 1970 ketika pemerintah mulai menggalakkan kesenian daerah sebagai aset wisata, dan mulai ada campur tangan dari pemerintah dan pembinaan. Atas prakarsa Bupati Soepanto (1975) yang menganjurkan kaum wanita bisa menjadi penari dolalak mendapat respon yang positif. Sehingga mulailah muncul group- group dolalak di tingkat kecamatan dan mencapai puncaknya pada dekade 1980 –an. Bahkan pada tahun 80 an terjadi perubahan yang menonjol dimana kemudian para penari yang tadinya lelaki diganti menjadi wanita yang diawali dengan group dolalak dari dusun Teneran, desa Kaligono, kecamatan Kaligesing. Dan kemudian pada saat ini berkembang pesat group dolalak yang penarinya wanita.
Isi lain yang perlu diungkap adalah “mantra” yang digunakan oleh sesepuh group dolalak ketika mengendalikan kekuatan ghaib yang merasuki penari dolalak. Sebelum group dolalak menari telah disediakan sesaji diantaranya: bunga setaman minimum 3 macam, minuman ( teh, kopi, dan air putih), kelapa muda, pisang dan jajan pasar, alat kecantikan (bedak, lipstik, kaca pengilon, sisir dan minyak wangi), kinang, sirih dan kapur sirih. Semuanya itu disajikan untuk penari yang “mendhem” atau kerasukan roh halus. Dalam kondisi menari mereka bisa totalitas dan bahkan kadang dapat melakukan hal- hal yang aneh dan diluar kebiasaan.
Tari dolalak berasal dari kata “do” dan “la-la” yang dimaksud not balok dari do,re,mi,fa,sol,la,si,do, yang diambil dari pendengaran penduduk pribumi yang berubah menjadi lidah jawa dolalak, sekitar tahun 1940. Tari ini oleh rakyat Indonesia diciptakan sebagai misi keagamaan dan politik untuk memerangi Belanda. Tari ini dipentaskan pada saat-saat tertentu, diantaranya; mantu,sunatan dan syukuran. Biasanya warga mengundang group tertentu yang disebut nanggap dalam bahasa jawa, tari ini ditarikan menjelang hajatan yaitu pada malam hari semalam suntuk. Dalam perkembangan selanjutnya kabupaten Purworejo memperhatikan perkembangannya kemudian mengangkat kesenian ini lewat penataran dan seminar tentang tari dolalak. Bahkan dolalak dijadikan muatan lokal dalam pendidikan dasar. Perhatian pemerintah juga tampak dengan memberikan alat dan kostum. Sehingga kini dolalak sudah terkenal sampai di TMII yang pernah pentas di anjungan Jawa Tengah. Seiring berjalannya waktu kemudian dolalak menjadi aset mata pencaharian tambahan bagi penari dan pengiring group tersebut. Sebab pada musim pernikahan banyak menampilkan tari dolalak untuk meramaikannya.
Sebagai seni pertunjukan, dolalak mengandung 4 unsur seni yaitu; seni gerak (tari), seni rupa (busana dan aksesoris), seni suara (musik) dan seni sastra (syair lagu) yaitu:
1. Gerak: gerak tari dolalak merupakan gerak keprajuritan didominasi oleh gerak yang rampak dan dinamis nyaris seperti gerakan bela diri pencak silat yang diperhalus. Gerakan “kirig” (gerakan bahu yang cepat pada saat-saat tertentu) merupakan ciri khas dolalak yang tidak didapati pada tarian lain. Penelitian Prihartini membagi tari dolalak menjadi tiga bagian yaitu: tari kelompok, tari pasangan, dan tari tunggal. Tari tunggal biasanya diikuti dengan “trance” atau kesurupan sehingga penari bisa menari hingga berjam-jam. Pada perkembangannya tari dolalak dimodivikasi sehingga bisa ditarikan hanya 15 menit.
Dalam tari terdapat berbagai macam istilah diantaranya gerak kaki (adeg, tanjak, hoyog,sered,mancat,gejug,jinjit,ngentrik,ngetol,engklel,sing,ngetol,pencik,kesutan,sampok,jengkeng dan sepak). Gerak tangan (ngruji,taweng,ngregem,malangkerik,ukel,ukel wolak-walik,tepis,jentus,keplok,enthang,siak,kesutan grodha,miwir sampur,ngithir sampur,bapangan wolak-walik,atur-atur,cathok,mbandhul,cakilan dan tangkisan). Gerak tubuh/ badan (ogek,entrag dan geblag). Gerak leher(tolehan,lilingan dan coklekan) gerak bahu (kirig dan kedher).
2. Busana: kostum tradisional dolalak menggunakan baju lengan panjang hitam dan celana pendek hitam dengan pelisir “untu walang” pada tepinya. Serta aksesorius kuning keemasan pada bagian dada dan punggung ditambah topi pet hitam dengan hiasan dan kaos kaki panjang, namun saat ini dimodivikasi pada celana pendek yang dahulu diatas lutut menjadi di bawah lutut. Bahkan ada juga yang dimodivikasi dengan gaya muslim dengan berkerudung namun aksesorisnya tetap sama. Memakai sampur pendek yang diikat di sebelah kanan saja.
3. Musik : semula hanya acapela, namun dalam perkembangannya diiringi dengan lagu dan tembang seerta iringan solawat jawa dan dilengkapi juga dengan bedug, kendang, terbang, kecer dan organ. Musiknya beragam dari vocal “bawa” sebagai lagu pembuka hingga lagu parikan atau pantun yang menggunakan bahasa melayu lama dan sebagian bahasa jawa bahkan bahasa arab. Bahkan sekarang masuk juga lagu jenis pop, dangdut dan campursari.
4. Syair lagu: bertema tentang agama sindiran sosial, kegembiraan dan nasehat kehidupan ada juga yang bernuansa romantis yang dinyatakan dengan pantun atau parikan.
Dansa (tari gaul gaya barat ) dengan iringan lagu membangkitkan inspirasi beberapa warga pribumi untuk menirunya menjadi tari dolalak. Menurut penelitian Prihatini (2000) nama mereka adalah Rejotaruno, Duliyat dan Ronodimejo untuk menirunya. Dari hasil survey jurisan sejarah FKIP IKIP Semarang (1971) mencatat bahwa akar kesenian dolalak tumbuh pada masa perang Aceh (1873-1904). Untuk menghibur diri pasukan Belanda yang ditugaskan di Aceh membuat tari keprajuritan , dengan barisan dan cakepan atau nyanyian yang berbentuk “pernesan” atau sindiran serta dengan pakaian ala Belanda dan Perancis. Ketika Purworejo menjadi basis militer Belanda kesenian itu juga makin berkembang luas. Menurut salah satu sumber di internet (javapromo.com, 2007) yang dikemukakan oleh Tijab pimpinan group dolalak dusun Giri Tengah Borobudur mengatakan bahwa dolalak berasal dari kata “Duh allah” dan lahirnya seni dolalak karena adanya kisah pasukan Srikandi yang membantu Nyai Ageng Serang pada saat perang Diponegoro. Pasukan wanita tersebut berada di bawah pimpinan Ambarsari dan Roro Ayu Tunggalsari.
Pada awal kehadirannya sampai tahun 1970 dolalak merupakan kesenian rakyat yang berfungsi sebagai penghibur pada kegiatan hajatan masyarakat desa. Pada dekade 1970 ketika pemerintah mulai menggalakkan kesenian daerah sebagai aset wisata, dan mulai ada campur tangan dari pemerintah dan pembinaan. Atas prakarsa Bupati Soepanto (1975) yang menganjurkan kaum wanita bisa menjadi penari dolalak mendapat respon yang positif. Sehingga mulailah muncul group- group dolalak di tingkat kecamatan dan mencapai puncaknya pada dekade 1980 –an. Bahkan pada tahun 80 an terjadi perubahan yang menonjol dimana kemudian para penari yang tadinya lelaki diganti menjadi wanita yang diawali dengan group dolalak dari dusun Teneran, desa Kaligono, kecamatan Kaligesing. Dan kemudian pada saat ini berkembang pesat group dolalak yang penarinya wanita.
Isi lain yang perlu diungkap adalah “mantra” yang digunakan oleh sesepuh group dolalak ketika mengendalikan kekuatan ghaib yang merasuki penari dolalak. Sebelum group dolalak menari telah disediakan sesaji diantaranya: bunga setaman minimum 3 macam, minuman ( teh, kopi, dan air putih), kelapa muda, pisang dan jajan pasar, alat kecantikan (bedak, lipstik, kaca pengilon, sisir dan minyak wangi), kinang, sirih dan kapur sirih. Semuanya itu disajikan untuk penari yang “mendhem” atau kerasukan roh halus. Dalam kondisi menari mereka bisa totalitas dan bahkan kadang dapat melakukan hal- hal yang aneh dan diluar kebiasaan.
Busana Bagelenan
Ada tiga macam busana Bagelenan yaitu:
1. Busana Kasepuhan adalah busana yang biasa dipakai oleh orang tua (sepuh), penutup kepalanya iket atau destar yang dibuat sendiri langsung atau sudah menjadi blankon dengan ujung destar terjuntai (jebehan nglawer). Dalam mengenakan aksesoris diatas mancung, berbentuk medallion, permata. Bagian atas mengenakan beskap dengan kancing di tengah yang disebut atela. Busana Bagelenan Kasepuhan sendiri terdiri dari dua macam yaitu dengan beskap atela landung (panjang) tanpa mengenakan keris dan busana beskap atela dengan mengenakan keris (ada krowakannya).
Bagian bawah mengenakan kain batik panjang dengan wiron di tengah dan seret putih ditampakkan, bagian kaki mengenakan selop atau sepatu pantovel.
2. Busana Bagelenan kaneman adalah busana yang diperuntukkan bagi orang muda, namun dapat juga dipakai oleh orang tua. Dirancang dengan tujuan agar pemakai dapat bergerak cepat dan lincah. Penutup kepala digunakan iket atau destar yang dibuat sendiri langsung atau sudah menjadi blankon dengan ujung destar terjuntai. Dapat mengenakan aksesoris diatas mancung, berbentuk medallion dan permata. Bagian atas adalah beskap dengan kancing ditengah (atela). Ada dua macam yaitu yang landung tanpa mengenakan keris dan yang krowakan dengan mengenakan keris. Bagian bawah mengenakan celana panjang yang ditutupi kain batik separuh dengan wiron berbentuk kadal menek. Bagian kaki sepatu pantovel dan kaos kaki.
3. Busana Bagelenan Keprajuritan yaitu busana yang dipakai oleh pasukan (prajurit) untuk acara ceremonial (upacara) di kabupaten Purworejo, pada hari- hari istimewa dan bila dibutuhkan, yaitu busana Prajuritan Jayengan.
Bagi kaum wanita mengenakan kebaya kartinian, semekan dengan ditutup kebaya, kebaya landing, kebaya dengan kutu baru. Sedangkan bagian bawah mengenakan kain batik panjang berwiron dengan seret ditampakkan. Penutup kaki memakai selop berhak tinggi atau pendek. Kain batik yang digunakan adalah batik Banyuuripan, Grabag dan lain yang khas Purworejo.
Ditulis ulang dari HR Oteng Suherman.
1. Busana Kasepuhan adalah busana yang biasa dipakai oleh orang tua (sepuh), penutup kepalanya iket atau destar yang dibuat sendiri langsung atau sudah menjadi blankon dengan ujung destar terjuntai (jebehan nglawer). Dalam mengenakan aksesoris diatas mancung, berbentuk medallion, permata. Bagian atas mengenakan beskap dengan kancing di tengah yang disebut atela. Busana Bagelenan Kasepuhan sendiri terdiri dari dua macam yaitu dengan beskap atela landung (panjang) tanpa mengenakan keris dan busana beskap atela dengan mengenakan keris (ada krowakannya).
Bagian bawah mengenakan kain batik panjang dengan wiron di tengah dan seret putih ditampakkan, bagian kaki mengenakan selop atau sepatu pantovel.
2. Busana Bagelenan kaneman adalah busana yang diperuntukkan bagi orang muda, namun dapat juga dipakai oleh orang tua. Dirancang dengan tujuan agar pemakai dapat bergerak cepat dan lincah. Penutup kepala digunakan iket atau destar yang dibuat sendiri langsung atau sudah menjadi blankon dengan ujung destar terjuntai. Dapat mengenakan aksesoris diatas mancung, berbentuk medallion dan permata. Bagian atas adalah beskap dengan kancing ditengah (atela). Ada dua macam yaitu yang landung tanpa mengenakan keris dan yang krowakan dengan mengenakan keris. Bagian bawah mengenakan celana panjang yang ditutupi kain batik separuh dengan wiron berbentuk kadal menek. Bagian kaki sepatu pantovel dan kaos kaki.
3. Busana Bagelenan Keprajuritan yaitu busana yang dipakai oleh pasukan (prajurit) untuk acara ceremonial (upacara) di kabupaten Purworejo, pada hari- hari istimewa dan bila dibutuhkan, yaitu busana Prajuritan Jayengan.
Bagi kaum wanita mengenakan kebaya kartinian, semekan dengan ditutup kebaya, kebaya landing, kebaya dengan kutu baru. Sedangkan bagian bawah mengenakan kain batik panjang berwiron dengan seret ditampakkan. Penutup kaki memakai selop berhak tinggi atau pendek. Kain batik yang digunakan adalah batik Banyuuripan, Grabag dan lain yang khas Purworejo.
Ditulis ulang dari HR Oteng Suherman.
Senin, 16 November 2009
Sunan Geseng dalam Berbagai Versi
Versi I
Dahulu di desa Bedhug terdapat seseorang bernama Ki Cakrajaya seorang penderes nira yang sangat miskin sehingga mendapat julukan Ki Petungmlarat, namun merupakan orang yang kuat tirakat dan tapabrata di tengah hutan belantara. Apabila melakukan tapabrata yang dimakan hanya daun- daunan. Selain itu Ki Cakrajaya sering pergi ke sungai untuk bertapa sehingga dia memiliki “kasinangan kramat” di beri keluhuran/ kesaktian. Setiap hari Ki Cakrajaya menderes kelapa dengan menggunakan bumbung bambu yang ditempatkan di pinggangnya, setiap kali akan memanjat pohon dia melafalkan mantra- mantra. Suatu hari saat Ki Cakrajaya hendak memanjat batang dan telah selesai melafalkan mantra, ditegur oleh seseorang yang menanyakan tentang mantra tersebut. Orang tersebut mengatakan kepada Ki Cakrajaya bahwa dia mempunyai mantra yang lebih hebat. Akhirnya Ki Cakrajaya mengajak orang tersebut ke rumahnya dan menyuruh mencetak gula satu tangkap, sebelum pulang orang tersebut berpesan agar cetakan jangan dibuka jika dia belum keluar dari desa Bedhug. Sepeninggal orang tersebut Ki Cakrajaya membuka cetakan gula dan terkejut sebab setangkap gula berubah menjadi emas yang berkilauan. Sekarang Ki Cakrajaya baru tau jika orang tersebut merupakan Sunan Kalijaga seorang mubaligh besar yang suka mengembara mengikuti aliran sungai. Ki Cakrajaya mengejar orang tersebut dan di beri tahu bahwa mantra yang dilafalkan tersebut merupakan dua kalimah syahadad akhirnya Ki cakrajaya meminta menjadi muridnya serta mengikuti kemana sunan Kalijaga mengembara. Dalam perjalanan itulah Ki Cakrajaya menimba ilmu agama.
Suatu ketika sunan Kalijaga berpamitan akan sembahyang ke Mekah dan menancapkan tongkat supaya dijaga oleh Ki Cakrajaya. Setelah lama berselang sekembalinya sunan Kalijaga dari Mekah keadaan tempat tersebut telah berubah menjadi “dhapuran pring” atau rumpun bambu yang berduri. Ki Cakrajaya tetap duduk bersila ditengah rumpun tersebut. Akhirnya tempat tersebut dibakar oleh sunan Kalijaga sebab Ki Cakrajaya tidak dapat keluar, namun kulitnya menjadi hitam akhirnya dia mendapat julukan sunan Geseng.
Versi II
Menurut naskah Bappeda Purworejo I ketika sunan Kalijaga dan Ki Cakrajaya sampai ditempat biasa menyadap aren, ingin menguji keteguhan iman Ki Cakrajaya. Maka sunan Kalijaga mencari “carang” atau ranting bambu dan menancapkan ke tanah sambil berkata: bahwa tongkat tersebut merupakan bukti kesetiaan apabila Ki Cakrajaya bisa menjaga tongkat tersebut maka ia akan menjadi muridnya yang utama. Sepeninggal sunan Kalijaga berdakwah Ki Cakrajaya tetap ditempat tersebut. Setelah urusan di Demak selesai sunan Kalijaga kembali ke Megulung Bagelen , dan mendapatkan ranting yang telah tumbuh rindang. Dan disekitarnya juga telah tumbuh alang-alang yang subur, namun Ki Cakrajaya masih tetap pada posisi semula dan badannya telah kurus serta terselubung gerumbulan alang-alang. Untuk menolong Ki Cakrajaya sunan Kalijaga membakar habis gerumbulan tersebut, namun Ki Cakrajaya masih hidup hanya pakaiannya yang habis terbakar dan punggungnya hitam.
Versi III
Dalam versi ini dikatakan bahwa sunan Kalojaga berpamitan akan pergi jauh dan menyuruh Ki Cakrajaya menjaga tongkat bambu sebagai tanda dan pegangan, lalu Ki cakrajaya menelungkup ke tanah. Setelah lebih setahun meninggalkan Ki Cakrajaya sunan Kalijaga kembali dari Cirebon. Sesampainya di tempat Ki Cakrajaya di tinggalkan telah tumbuh semak belukar, dan dibakar oleh sunan Kalijaga. Setelah belukar habis terbakar tampaklah Ki Cakrajaya yang masih tertelungkup di tanah dan tangannya memagang tongkat bambu kuning yang telah tumbuh menjadi pohon besar. Tubuh Ki Cakrajaya hangus terbakar, lalu di berilah julukan sunan Geseng.
Dari tempat tersebut kemudian sunan Geseng diajak berjalan ke arah timur . di sutu tempat sunan Kalijaga menancapkan tongkat dan ketika dicabut mengeluarkan air dan menjadi “sendang’ sunan Geseng disuruh mandi. Seketika kotoran tersebut hanyut dibawa aliran sungai hingga ke “kedung Pucung” sedangkan sendang tadi bernama “ Sendang Banyu Urip”. Sampai sekarang diyakini oleh penduduk jika para pegawai pemerintah tidak berani mandi di sungai ini karenamerupakan tempat tertampungnya kotoran yang melekat. Setelah itu perjalanan di lanjutkan ke barat hingga sampai pada suatu desa Ngajen kecamatan Dlingo, bantul dan disanalah sunan Geseng ngudi ilmu.
Ki Cakrajaya adalah seorang yang bersahaja dan sangat setia berpegang teguh pada patokan (tongkat bambu) yang diberikan oleh gurunya. Ki Cakrajaya digambarkan duduk bersila atau bersemedi memegang ajaran gurunya sedangkan dalam babad Demak digambarkan Ki Cakrajaya tengkurap menungging sambil tangannya memegang tongkat bambu yang menancap ditanah tempat dirinya menunggu sang guru. Tengkurap menungging selama setahun diartikan selama setahun itu Ki Cakrajaya melakukan syariat agama dengan mengamalkan sholat lima waktu untuk menjadi seorang muslim yang mukmin dengan berpegang teguh pada patokan ajaran gurunya yakni sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dikenal sebagi mubaligh yang beraliran Tuban yang luwes dalam melaksanakan dakwah islam. Seperti Ki cakrajaya yang mempunyai kebiasaan tradisional menyadap nira tradisi sunan Kalijaga dengan makna baru yaitu kalimat syahadad. Tongkat bambu kuning yang tumbuh subur berduri dan mengurung Ki Cakrajaya mungkin saja patokan sunan Kalijaga tentang fiqih yang berpangkat kepala empat akar utama yaitu; Al-Qur’an, Sunnah, ijma, dan Qiyas. Keempat akar usul fiqih tersebut jika dipelajari akan terus hidup dan berkembang sebagai jalan menuju tauhid. Oleh Ki Cakrajaya disiapkan sebagai seorang mubaligh maka perkembangan ilmu pengetahuan ke arah sufi mungkin juga dipengaruhi pandangan perlu dibersihkan dan membakar segala yang tumbuh liar dengan berdiskusi dan penggemblengannya yang akhirnya menginsyafkan dirinya keluar dari kungkungan onak duri dan alang- alang liar. Ki Cakrajaya kemudian muncul sebagai orang yang selesai melakukan tahap penggemblengan seperti halnya baja yang dibakar dan ditempa kemudian dibentuk sebagai keris pusaka yang ampuh dengan patokan yang tetap dipegang teguh. Ki Cakrajaya dengan nama sunan Geseng diperintahkan ke Lowano untuk menyebarkan agama islam dari tempat itu Bagelen bahkan bagian daerah Yogyakarta (Dlingo-Bantul) berhasil diislamkan. Sunan Geseng wafat dan dimakamkan di Grabag, Mungkit, kabupaten Magelang. Pesantern Watu Belah menurut Radix Penadi didirikan oleh sunan Geseng.
Dahulu di desa Bedhug terdapat seseorang bernama Ki Cakrajaya seorang penderes nira yang sangat miskin sehingga mendapat julukan Ki Petungmlarat, namun merupakan orang yang kuat tirakat dan tapabrata di tengah hutan belantara. Apabila melakukan tapabrata yang dimakan hanya daun- daunan. Selain itu Ki Cakrajaya sering pergi ke sungai untuk bertapa sehingga dia memiliki “kasinangan kramat” di beri keluhuran/ kesaktian. Setiap hari Ki Cakrajaya menderes kelapa dengan menggunakan bumbung bambu yang ditempatkan di pinggangnya, setiap kali akan memanjat pohon dia melafalkan mantra- mantra. Suatu hari saat Ki Cakrajaya hendak memanjat batang dan telah selesai melafalkan mantra, ditegur oleh seseorang yang menanyakan tentang mantra tersebut. Orang tersebut mengatakan kepada Ki Cakrajaya bahwa dia mempunyai mantra yang lebih hebat. Akhirnya Ki Cakrajaya mengajak orang tersebut ke rumahnya dan menyuruh mencetak gula satu tangkap, sebelum pulang orang tersebut berpesan agar cetakan jangan dibuka jika dia belum keluar dari desa Bedhug. Sepeninggal orang tersebut Ki Cakrajaya membuka cetakan gula dan terkejut sebab setangkap gula berubah menjadi emas yang berkilauan. Sekarang Ki Cakrajaya baru tau jika orang tersebut merupakan Sunan Kalijaga seorang mubaligh besar yang suka mengembara mengikuti aliran sungai. Ki Cakrajaya mengejar orang tersebut dan di beri tahu bahwa mantra yang dilafalkan tersebut merupakan dua kalimah syahadad akhirnya Ki cakrajaya meminta menjadi muridnya serta mengikuti kemana sunan Kalijaga mengembara. Dalam perjalanan itulah Ki Cakrajaya menimba ilmu agama.
Suatu ketika sunan Kalijaga berpamitan akan sembahyang ke Mekah dan menancapkan tongkat supaya dijaga oleh Ki Cakrajaya. Setelah lama berselang sekembalinya sunan Kalijaga dari Mekah keadaan tempat tersebut telah berubah menjadi “dhapuran pring” atau rumpun bambu yang berduri. Ki Cakrajaya tetap duduk bersila ditengah rumpun tersebut. Akhirnya tempat tersebut dibakar oleh sunan Kalijaga sebab Ki Cakrajaya tidak dapat keluar, namun kulitnya menjadi hitam akhirnya dia mendapat julukan sunan Geseng.
Versi II
Menurut naskah Bappeda Purworejo I ketika sunan Kalijaga dan Ki Cakrajaya sampai ditempat biasa menyadap aren, ingin menguji keteguhan iman Ki Cakrajaya. Maka sunan Kalijaga mencari “carang” atau ranting bambu dan menancapkan ke tanah sambil berkata: bahwa tongkat tersebut merupakan bukti kesetiaan apabila Ki Cakrajaya bisa menjaga tongkat tersebut maka ia akan menjadi muridnya yang utama. Sepeninggal sunan Kalijaga berdakwah Ki Cakrajaya tetap ditempat tersebut. Setelah urusan di Demak selesai sunan Kalijaga kembali ke Megulung Bagelen , dan mendapatkan ranting yang telah tumbuh rindang. Dan disekitarnya juga telah tumbuh alang-alang yang subur, namun Ki Cakrajaya masih tetap pada posisi semula dan badannya telah kurus serta terselubung gerumbulan alang-alang. Untuk menolong Ki Cakrajaya sunan Kalijaga membakar habis gerumbulan tersebut, namun Ki Cakrajaya masih hidup hanya pakaiannya yang habis terbakar dan punggungnya hitam.
Versi III
Dalam versi ini dikatakan bahwa sunan Kalojaga berpamitan akan pergi jauh dan menyuruh Ki Cakrajaya menjaga tongkat bambu sebagai tanda dan pegangan, lalu Ki cakrajaya menelungkup ke tanah. Setelah lebih setahun meninggalkan Ki Cakrajaya sunan Kalijaga kembali dari Cirebon. Sesampainya di tempat Ki Cakrajaya di tinggalkan telah tumbuh semak belukar, dan dibakar oleh sunan Kalijaga. Setelah belukar habis terbakar tampaklah Ki Cakrajaya yang masih tertelungkup di tanah dan tangannya memagang tongkat bambu kuning yang telah tumbuh menjadi pohon besar. Tubuh Ki Cakrajaya hangus terbakar, lalu di berilah julukan sunan Geseng.
Dari tempat tersebut kemudian sunan Geseng diajak berjalan ke arah timur . di sutu tempat sunan Kalijaga menancapkan tongkat dan ketika dicabut mengeluarkan air dan menjadi “sendang’ sunan Geseng disuruh mandi. Seketika kotoran tersebut hanyut dibawa aliran sungai hingga ke “kedung Pucung” sedangkan sendang tadi bernama “ Sendang Banyu Urip”. Sampai sekarang diyakini oleh penduduk jika para pegawai pemerintah tidak berani mandi di sungai ini karenamerupakan tempat tertampungnya kotoran yang melekat. Setelah itu perjalanan di lanjutkan ke barat hingga sampai pada suatu desa Ngajen kecamatan Dlingo, bantul dan disanalah sunan Geseng ngudi ilmu.
Ki Cakrajaya adalah seorang yang bersahaja dan sangat setia berpegang teguh pada patokan (tongkat bambu) yang diberikan oleh gurunya. Ki Cakrajaya digambarkan duduk bersila atau bersemedi memegang ajaran gurunya sedangkan dalam babad Demak digambarkan Ki Cakrajaya tengkurap menungging sambil tangannya memegang tongkat bambu yang menancap ditanah tempat dirinya menunggu sang guru. Tengkurap menungging selama setahun diartikan selama setahun itu Ki Cakrajaya melakukan syariat agama dengan mengamalkan sholat lima waktu untuk menjadi seorang muslim yang mukmin dengan berpegang teguh pada patokan ajaran gurunya yakni sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dikenal sebagi mubaligh yang beraliran Tuban yang luwes dalam melaksanakan dakwah islam. Seperti Ki cakrajaya yang mempunyai kebiasaan tradisional menyadap nira tradisi sunan Kalijaga dengan makna baru yaitu kalimat syahadad. Tongkat bambu kuning yang tumbuh subur berduri dan mengurung Ki Cakrajaya mungkin saja patokan sunan Kalijaga tentang fiqih yang berpangkat kepala empat akar utama yaitu; Al-Qur’an, Sunnah, ijma, dan Qiyas. Keempat akar usul fiqih tersebut jika dipelajari akan terus hidup dan berkembang sebagai jalan menuju tauhid. Oleh Ki Cakrajaya disiapkan sebagai seorang mubaligh maka perkembangan ilmu pengetahuan ke arah sufi mungkin juga dipengaruhi pandangan perlu dibersihkan dan membakar segala yang tumbuh liar dengan berdiskusi dan penggemblengannya yang akhirnya menginsyafkan dirinya keluar dari kungkungan onak duri dan alang- alang liar. Ki Cakrajaya kemudian muncul sebagai orang yang selesai melakukan tahap penggemblengan seperti halnya baja yang dibakar dan ditempa kemudian dibentuk sebagai keris pusaka yang ampuh dengan patokan yang tetap dipegang teguh. Ki Cakrajaya dengan nama sunan Geseng diperintahkan ke Lowano untuk menyebarkan agama islam dari tempat itu Bagelen bahkan bagian daerah Yogyakarta (Dlingo-Bantul) berhasil diislamkan. Sunan Geseng wafat dan dimakamkan di Grabag, Mungkit, kabupaten Magelang. Pesantern Watu Belah menurut Radix Penadi didirikan oleh sunan Geseng.
Isi Padmasana dan Benda Temuan Lain di Sekitar Goa Seplawan
Isi Padmasana
Padmasana diteliti oleh Drs. Soekatno TW menunjukkan bahwa sepasang arca emas merupakan benda sejarah yang masih utuh. Isi padmasana antara lain: tanah, batu-batuan seperti akik, bermacam- macam biji-bijian, tanah liat digunakan untuk membungkus bagian isi padmasana. Batu-batuan seperti akik diduga bekas perhiasan atau alat upacara sejumlah 15 biji berbentuk tak beraturan dengan warna putih, coklat, kuning dan ungu. Batu-batuan tersebut masih ada bekas gosokan dan lubang. Ada pula logam emas muda yang diduga berfungsi sebagai mata uang, berbentuk kertas emas yang dilipat berbentuk bunga, cincin, spiral dan bentuk- bentuk lainnya. Serbuk emas, benda-benda perak, biji-bijian yang diduga jewawut.
Benda temuan lain
Di temukan juga sebuah tempat suci berupa candi yang terletak 15 meter dari mulut goa, tempat tersebut setelah digali mengeluarkan bau harum semacam ratus sehingga dinamakan “Candi Ganda Arum”. Temuan candi tersebut memperkuat kesimpulan bahwa benda- benda temuan merupakan satu kesatuan dengan tempat pemujaan tersebut. Kesimpulan dari Drs Soekatno TW menyatakan bahwa goa Seplawan merupakan tempat pertapaan raja yang telah mengundurkan diri dari pemerintahan dan kehidupan istana pada abad IX.
Padmasana diteliti oleh Drs. Soekatno TW menunjukkan bahwa sepasang arca emas merupakan benda sejarah yang masih utuh. Isi padmasana antara lain: tanah, batu-batuan seperti akik, bermacam- macam biji-bijian, tanah liat digunakan untuk membungkus bagian isi padmasana. Batu-batuan seperti akik diduga bekas perhiasan atau alat upacara sejumlah 15 biji berbentuk tak beraturan dengan warna putih, coklat, kuning dan ungu. Batu-batuan tersebut masih ada bekas gosokan dan lubang. Ada pula logam emas muda yang diduga berfungsi sebagai mata uang, berbentuk kertas emas yang dilipat berbentuk bunga, cincin, spiral dan bentuk- bentuk lainnya. Serbuk emas, benda-benda perak, biji-bijian yang diduga jewawut.
Benda temuan lain
Di temukan juga sebuah tempat suci berupa candi yang terletak 15 meter dari mulut goa, tempat tersebut setelah digali mengeluarkan bau harum semacam ratus sehingga dinamakan “Candi Ganda Arum”. Temuan candi tersebut memperkuat kesimpulan bahwa benda- benda temuan merupakan satu kesatuan dengan tempat pemujaan tersebut. Kesimpulan dari Drs Soekatno TW menyatakan bahwa goa Seplawan merupakan tempat pertapaan raja yang telah mengundurkan diri dari pemerintahan dan kehidupan istana pada abad IX.
Penemuan Arca Emas di Goa Seplawan
Suasana goa Seplawan mencerminkan tempat suci berwujud seperti bunga padma yang memenuhi persyaratan filsafat “navasanga”. Filsafat “navasanga” merupakan penggambaran setiap penjuru mata angin dalam kekuasaan dewata dan erat hubungannya dengan bunga padma. Bunga padma melambangkan kesucian yang selalu mempunyai delapan helai daun bunga dan mengelilingi pusatnya.
Lubang goa Seplawan dan candi Ganda Arum terletak ditengah- tengah bukit kecil, sehingga ketika turun hujan air dapat masuk kedalam lubang goa. Dengan demikian peristiwa dan keadaan alam disekitar goa Seplawan sangat memenuhi syarat filsafat agama Siwa- Lingga.
Tanggal 28 Agustus 1979 di dalam goa Seplawan, desa Donorejo, kecamatan Kaligesing para penduduk menemukan “kendaga” yang terbuat dari perunggu dan juga menemukan beberapa benda semacam hiasan yang terbuat dari perak dan kereweng lokal. Dalam kendaga tersebut ditemukan sepasang arca emas yang terbuat dari logam mulia 22 karat. Arca pria tingginya 16 cm sedangkan arca wanita 15 cm, sepasang arca ini bergandengan tangan dan terletak di atas “padmasana” yang terbuat dari emas. Arca ini ditemukan di atas sandaran segiempat yang terbuat dari perak 900, berat emasnya 900 gram dan berat keseluruhannya 1,75 kg. Kedua arca ini dilindungi “chatra” atau payung dan disekitar kepala dihiasi pancaran yang melambangkan kesucian. Berdasarkan penelitian Drs. Soekatno TW, sepasang arca emas ini dinamakan dewa- dewi dengan pakaian seperti raja dan permaisuri. Posisis arca “Samabhangga”atau berdiri, dengan tangan kanan arca pria terjulur kedepan tengadah keatas sedangkan tangan kirinya memegang telapak tangan arca wanita dan tangan kiri arca wanita dilipat melintang ke depan perut serta telapak tangan menghadap ke atas memegang benda bulat semacam permata. Wajahnya bulat telur, mata setengah tertutup, wajah agak tertunduk santai, hidung sedang, telinga memanjang ke bawah dengan “kundala” atau anting- anting yang berat. Di sela- sela mahkota tampak “jathamahkutha” atau garis- garis rambut. Sepasang arca ini memakai kain panjang bermotif bunga ceplok terletak diantara garis- garis sejajar seperti kain batik kain diikatkan dan ditutup dengan simpul ikatan dibagian belakang dengan ceplok bunga padma besar sebagai lambang kesucian. Bagian badan dari dada hingga di bawah pusar terbuka dan tidak memakai baju. Perhiasan yang dikenakan menunjukkan kebesaran, seperti gelang, kalung, anting- anting, mahkota, selempang upawita dan hiasan sekitar kepala berupa “prabha” atau pancaran cahaya rangkaian lidah api sebagai lambang kesucian pula. Dibawah arca terdapat kuntum bunga dari emas yang mencuat diduga sebagai lambang kesucian, bentuk arca sendiri diduga khas bagelen karena di India bentuk seperti itu tidak ada.
Lubang goa Seplawan dan candi Ganda Arum terletak ditengah- tengah bukit kecil, sehingga ketika turun hujan air dapat masuk kedalam lubang goa. Dengan demikian peristiwa dan keadaan alam disekitar goa Seplawan sangat memenuhi syarat filsafat agama Siwa- Lingga.
Tanggal 28 Agustus 1979 di dalam goa Seplawan, desa Donorejo, kecamatan Kaligesing para penduduk menemukan “kendaga” yang terbuat dari perunggu dan juga menemukan beberapa benda semacam hiasan yang terbuat dari perak dan kereweng lokal. Dalam kendaga tersebut ditemukan sepasang arca emas yang terbuat dari logam mulia 22 karat. Arca pria tingginya 16 cm sedangkan arca wanita 15 cm, sepasang arca ini bergandengan tangan dan terletak di atas “padmasana” yang terbuat dari emas. Arca ini ditemukan di atas sandaran segiempat yang terbuat dari perak 900, berat emasnya 900 gram dan berat keseluruhannya 1,75 kg. Kedua arca ini dilindungi “chatra” atau payung dan disekitar kepala dihiasi pancaran yang melambangkan kesucian. Berdasarkan penelitian Drs. Soekatno TW, sepasang arca emas ini dinamakan dewa- dewi dengan pakaian seperti raja dan permaisuri. Posisis arca “Samabhangga”atau berdiri, dengan tangan kanan arca pria terjulur kedepan tengadah keatas sedangkan tangan kirinya memegang telapak tangan arca wanita dan tangan kiri arca wanita dilipat melintang ke depan perut serta telapak tangan menghadap ke atas memegang benda bulat semacam permata. Wajahnya bulat telur, mata setengah tertutup, wajah agak tertunduk santai, hidung sedang, telinga memanjang ke bawah dengan “kundala” atau anting- anting yang berat. Di sela- sela mahkota tampak “jathamahkutha” atau garis- garis rambut. Sepasang arca ini memakai kain panjang bermotif bunga ceplok terletak diantara garis- garis sejajar seperti kain batik kain diikatkan dan ditutup dengan simpul ikatan dibagian belakang dengan ceplok bunga padma besar sebagai lambang kesucian. Bagian badan dari dada hingga di bawah pusar terbuka dan tidak memakai baju. Perhiasan yang dikenakan menunjukkan kebesaran, seperti gelang, kalung, anting- anting, mahkota, selempang upawita dan hiasan sekitar kepala berupa “prabha” atau pancaran cahaya rangkaian lidah api sebagai lambang kesucian pula. Dibawah arca terdapat kuntum bunga dari emas yang mencuat diduga sebagai lambang kesucian, bentuk arca sendiri diduga khas bagelen karena di India bentuk seperti itu tidak ada.
Langganan:
Postingan (Atom)