Dia mempunyai peran yang paling gemilang dalam mengatasi peristiwa G-30-S/PKI. Pada waktu itu Sarwo sebagai Komandan RPKAD yang sekarang dikenal sebagai Kopassus. Sarwo Edhie Wibowo langsung turun ke lapangan menaklukkan pemberontak dan menenangkan massa. Setelah itu berbagai jabatan militer dan sipil ia jalani, namun tidak sampai menjabat menteri. Jenderal yang brilyan dan jujur ini terakhir berpangkat Letnan Jenderal dan hanya menjabat Kepala BP7 (1984 1990). Sebelumnya ia menjabat Irjen Deplu (1978-1983) dan Dubes RI di Korea Selatan. Jabatan militer tertinggi dipegangnya adalah Gubernur Akabri (1970-1973), setelah sebelumnya menjabat Panglima Kodam XVII Cenderawasih (1968-1970) dan Panglima Kodam II Bukit Barisan (1967-1968). Ketika menjabat Pangdam XVII/Cenderawasih sejak tanggal 25 Juni 1968 sampai 1970, dengan pangkat Brigjen, Sarwo Edhi Wibowo mengubah kebijakan operasi tempur menjadi pendekatan persuasive di Irian Jaya. Kala itu, berbagai laporan menyebutkan, antara tahun 1964-1968 puluhan ribu penduduk tersungkur dihantam timah panas di daerah itu akibat sejumlah penduduk setempat menuntut kemerdekaan. Keadaan memilukan itu tampaknya menjadi perhatian serius Brigjen Sarwo Edhi Wibowo. Ia segera mengambil langkah tegas untuk memulihkan nama dan wibawa TNI yang sudah tercoreng di mata penduduk Irian Jaya. Di bawah nama sandi Operasi Wibawa, ia menindak tegas aparat yang sewenang-wenang terhadap rakyat, serta di lain pihak mengimbau pemberontak keluar dari hutan dan kembali ke desa. Ia menjamin mereka yang kembali tidak akan diproses secara hukum. Namun, seperti saat bertugas sebagai Pangdam II/Bukit Barisan di Medan, belum dua tahun bertugas sebagai Pangdam Cenderawasih, Sarwo Edhi digantikan Kolonel Acub Zainal pada 26 Januari 1970. Sejak itu pula operasi tempur dan intelijen dijadikan lagi sebagai ujung tombak. Ribuan personel pasukan didatangkan dari Jawa untuk memadamkan apa yang disebut aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka yang diketahui ada indikasi OPM digiring ke kamp-kamp tahanan. Sebagian dari mereka tidak pernah kembali lagi.
Tampaknya Presiden Soeharto cukup memperhitungkan potensi citra, kredibilitas dan kepemimpinan Sarwo Edhie bisa menjadi presiden. Sehingga jabatannya dibatasi. Namun Sarwo Edhie tak pernah memberontak. Ia mempertahankan kejujuran dan nilai-nilai kejuangan dan pengabdiannya kepada nusa dan bangsanya.Sejak kecil, bapak mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menikahi putrinya Hj Ani Kristiani Herawati, ini sudah bercita-cita berpenghasilan tetap dan mengabdi pada negara. Ayahnya, kepala rumah gadai di zaman Belanda adalah gambaran ideal baginya, model seorang sebagai pegawai negeri. Ternyata, Sarwo lebih berbakat sebagai komandan, daripada pegawai. Sebagaimana ditulis dalam Pusat Data dan Analis Tempo, Sarwo adalah gambaran seorang prajurit ideal. Masa kecilnya diwarnai dengan kenakalan anak-anak: berkelahi dan adu berani di arus deras sungai. Tetapi setelah belajar silat, ia malah tidak pernah berkelahi. ''Baru saya membuka jurus saja, lawan sudah kabur,'' ucapnya, tertawa. Dari membaca koran-koran bekas, Sarwo mengagumi Jepang dengan kemenangan demi kemenangannya menghadapi sekutu. Maka, ketika Jepang mengumumkan hendak mencari heiho, pembantu tentara, ia mendaftarkan diri di Surabaya. Namun, kemudian ia kecewa, dan berniat melarikan diri. Di asrama, kerjanya hanya memotong rumput, membersihkan WC, dan mengatur tempat tidur tentara Jepang. ''Kalaupun diajar perang, hanya memakai senjata kayu,'' katanya.
Keinginannya menjadi prajurit tersalur setelah ia dan seorang kawannya ikut bergabung dengan Peta. Ia lalu membentuk batalyon, tetapi kemudian bubar. Kemudian menghadapi masa tidak menentu. Baru setelah Achmad Yani mengajaknya kembali membentuk batalyon di Magelang, ia kembali sebagai prajurit. Sarwo juga senang bela diri, ia adalah Ketua Taekwondo Indonesia. Letnan jenderal purnawirawan ini juga menyukai film sejarah dan kolosal, seperti halnya Benhur, dan memilih Jenderal Mc. Arthur serta Jenderal Rommel sebagai tokoh yang dikaguminya. Namun ia tetap suka wayang dan keris. Ia pun mewariskan tujuh keris kepada ketujuh putra-putrinya, buah pernikahannya dengan Sunarti Sri Hadiyah. Anaknya yang tertua, mengikuti jejaknya, sebagai militer. Dua menantunya juga jenderal, salah satunya Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono yang tepilih menjadi Presiden yang oleh redaksi Tokoh Indonesia diamati sebagai awal dinasti Sarwo Edhie dalam puncak kepemimpinanIndonesia.
Sarwo Edhie meninggal di Jakarta 9 November 1989 dan dimakamkan di daerah kelahirannya Ngupasan, Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah.
Oleh: Hari Sudarmono
Sumber: tokohindonesia.com